KABUPATEN BLITAR – 30 tahun silam, Yoyok Widoyoko memulai debutnya di lingkungan penyediaan air bersih. Waktu kosongnya sering dimanfaatkan untuk mereparasi alat dan mesin. Baginya, otak-atik alat rusak adalah kegiatan menyenangkan.
Mulai dari nol. Kalimat itu tepat menggambarkan perjalanan karir Yoyok Widoyoko. Kali pertama, dia menjadi kasir di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kediri. Kala itu tahun 90-an. Dia digaji hanya sekitar Rp 30 ribu per bulan.
Apakah gaji itu cukup? Jelas tidak. Terlebih Yoyok harus membayar biaya kuliah. Karena itulah, dia mencari peluang lain untuk menambah pendapatan. Nah, kebetulan di kantor tempatnya bekerja butuh petugas penagihan. “Waktu itu ongkos transportasinya Rp 250 per rekening. Saya menawarkan diri untuk menjadi jasa tukang tagih,” kenangnya.
Awal menjadi tukang tagih, tidak banyak yang bisa dia tangani. Seiring dengan kinerja positif, jumlah pelanggan yang dia tagih dapat terus bertambah. Dalam sebulan ada sekitar 400 pelanggan yang harus dia datangi.
Kegiatan penagihan itu biasanya dilakukan seusai tugas di kantor atau kasir selesai. Pulang malam nyaris menjadi kebiasaan setiap hari. Kompensasinya ada tambahan sekitar 50 ribu per bulan. Itu adalah pendapatan bersih dari hasil menjadi petugas tagih.
Pada 1995, Yoyok naik pangkat. Dia ditunjuk sebagai kepala bagian keuangan. Namun, posisi itu tidak membuatnya gengsi untuk merangkap jasa tukang tagih. Kerja tambahan itu berakhir setelah dia pindah tugas di salah satu kantor unit pelayanan. 1997, dia kembali naik pangkat, menjadi kepala unit pelayanan.
Di posisi itu, dia mulai bergelut dengan setumpuk persoalan pelayanan. Menangani distribusi yang macet, kualitas air yang kurang, hingga persoalan pelayanan lain.
Masalah pelanggan yang telat bayar bukan hal baru bagi Yoyok. Sebaliknya, menangani keluhan pelayanan menjadi tantangan baru. Dia mulai belajar tentang produksi dan jaringan perpiaan untuk distribusi air bersih.
“Dalam pelayanan, pipa bocor, air macet, adalah hal yang lazim dihadapi. Begitu juga dengan mesin ataupun pompa rusak,” katanya.
Tak kurang dari 10 tahun, pria berkumis tebal itu pindah dari kantor unit satu, ke kantor unit yang lain. Seringnya berjibaku dengan teknis membuat Yoyok akrab dengan peralatan dan mesin- mesin yang rusak.
Berkat pengalamannya, mesin rusak itu tidak langsung dibawa ke bengkel ataupun membeli baru. Di waktu luang, Yoyok biasanya memperbaiki mesin tersebut. “Karena sering menanganai mesin rusak, saya akhirnya belajar mengotak-atik mesin,” ungkapnya.
“Lambat laun ini menjadi semacam hobi. Itu menyenangkan kalau ternyata berhasil dan mesin bisa dimanfaatkan,” imbuhnya.
Dia kembali ditarik ke kantor pusat pada 2008. Yakni menjadi kepala bagian operasional teknik. Tugasnya masih seputar pada pelayananan. Namun lingkupnya yang lebih komplek karena menangani beberapa kantor unit pelayanan.
Hal ini berlangsung hingga 2010. Sebab, saat itu Yoyok harus kembali mengisi slot kosong di salah satu kantor unit pelayanan. Selang dua tahun berikutnya, beredar informasi seleksi direksi PDAM Pasuruan. Saat itu, Yoyok mendapatkan rekomendasi dari atasannya.
Bagi Yoyok, hal itu dilematis. Betapa tidak, dia sudah meniti karir puluhan tahun di tempat kerjanya tersebut. Meski posisi direktur adalah puncak dari perusahaan, tapi masa jabatannya sudah diatur. Dulu satu periode jabatan hanya berlaku selama empat tahun. Artinya, Yoyok bakal menganggur usai periode tersebut.
Kendati begitu, berbekal dukungan dari keluarga dan pengalaman yang lumayan, Yoyok memutuskan menjajal lowongan tersebut. Singkat cerita, dia mampu bersaing dengan kandidat top lain dari luar daerah. Dia menjadi direktur PDAM Pasuruan mulai tahun 2013 sampai 2018.
Beragam prestasi ditelorkan saat Yoyok menjadi pimpinan perusahaan milik daerah tersebut. Sayang, kiprahnya harus terhenti karena persoalan periodesasi. “Dan benar, setelah periode habis pada awal 2018, saya menganggur,” katanya lantas tertawa.
Yoyok tidak ambil pusing terkait hal itu. Dia yakin setiap keputusan yang diambil ada konsekuensinya. Di sisi lain, baginya nonjob tersebut tidaklah buruk. Sebab, saat itu dia bisa memberikan waktunya secara optimal untuk keluarga dan orang tua yang kebetulan sedang sakit.
Beberapa bulan berikutnya, Yoyok mendengar kabar adanya lowongan direksi di PDAM Blitar dan Bojonegoro. Dia kembali menjajal peruntungan dan dilantik pada September 2018 menjadi Direktur PDAM Tirta Penataran.
Kini, Yoyok sudah tiga tahun lebih berkiprah di Bumi Penataran. Perbaikan internal dilakukan di awal kepemimpinan. Baginya, soliditas internal adalah pondasi utama sebelum memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. Lambat laun, dia juga berupaya meningkatkan kualitas pelayanan. Beberapa apresiasi berhasil diperoleh atas dedikasi tersebut. (*/c1/wen)