TULUNGAGUNG – Masjid Al-Mimbar merupakan salah satu masjid tertua dan menjadi salah satu saksi sejarah yang kuat dalam penyebaran agama Islam di Kabupaten Tulungagung. Masjid Al-Mimbar sendiri terletak di Dusun Cikalan, Desa Majan, Kecamatan Kedungwaru, Tulungagung. Masjid ini didirikan oleh KH Khasan Mimbar pada tahun 172, berbentuk limas dengan menara, dan memiliki gapura dengan gaya arsitektur Kesultanan Mataram. Hingga kini Masjid Al-Mimbar masih ramai dan masih digunakan untuk beribadah bagi masyarakat di Desa Majan.
Keturunan KH Khasan Mimbar ke-7, RM Ali Shodiq mengatakan, masjid Al-Mimbar ini memiliki daya pikat yang unik dengan bangunan masjid berbentuk limas, kemudian memiliki menara di bagian sisi selatan masjid dan arsitektur gapura masjid yang melambangkan Kesultanan Mataram. Selain itu, di bagian barat masjid terdapat makam-makam para leluhur dan tokoh-tokoh terdahulu Majan, seperti makam KH Hasan Mimbar yang merupakan pendiri dan penyebar ajaran Islam di pardikan Majan, Kanjeng Raden Pangeran Haryo Kusumo Yudho merupakan seorang Patih Jogja ke-3, Raden Mas Tumenggung Pringgodiningrat yakni Bupati Ngrowo (Tulungagung) ke-4, Raden Mas Tumenggung Adipati JoyoDiningrat yang merupakan Bupati Ngrowo ke-5, dan Raden Mas Tumenggung Pringgokusumo yakni Bupati Ngrowo ke 10. Dengan keunikannya serta memiliki sejarah awal peradaban di Kabupaten Tulungagung, hingga kini masjid tersebut tidak pernah sepi pengunjung. “Sampai kini masih banyak kegiatan keagamaan yang masih terjaga hingga sekarang, seperti memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, tahlil naluri yang dilakukan setiap bakda salat isya,” jelasnya, Minggu (3/4).
Lanjut dia, karena telah termakan oleh usia, bangunan masjid Al-Mimbar banyak dilakukan peremajaan. Selain itu, peristiwa banjir bandang yang menimpa Kabupaten Tulungagung pada tahun 1955 membuat beberapa bangunan seperti menara dan gerbang harus direnovasi. Tak hanya renovasi pada bagian menara dan gerbang, tanah yang menopang Masjid Al-Mimbar pun juga ditinggikan. “Kalau sekarang ini, bangunan masjid yang masih asli hanya pada bagian atas masjid seperti atap-atap. Sedangkan bangunan lainnya sudah banyak yang diremajakan. Dulu itu bangunannya tidak seperti ini,” paparnya.
Dia mengaku, gerbang yang menjadi ikon Masjid Al-Mimbar ini baru dibangung sekitar tahun 1800-an. Sebelumnya, gerbang Masjid Al-Mimbar dibagi menjadi dua di sebelah selatan. Namun karena terendam lumpur setelah banjir bandang, barulah gerbang masjid diubah di sebelah timur Masjid. Sama halnya dengan menara yang terdapat di sisi selatan Masjid. Dulunya bangunan menara tersebut hanya merupakan susunan batu bata. “Dulu setelah banjir bandang itu hampir roboh, barulah oleh bupati waktu itu dibangun sedemikian rupa hingga sekarang,” ungkapnya.
Dia menambahkan, selain bentuk bangunan, pelaksanaan khotbah jumat di Masjid Al-Mimbar ini juga masih menggunakan mimbar yang tertutup. Menurutnya, pelaksanaan khotbah tersebut merupakan salah satu peninggalah KH Khasan Mimbar yang masih diterapkan hingga sekarang. Itu dilakukan agar jamaah fokus dengan apa yang disampaikan oleh khotib. “Yang khotbah itu hanya terdengar suaranya, sedangkan orangnya tidak terlihat karena mimbarnya yang tertutup,” ujarnya.
Dia mengaku, Masjid Al-Mimbar ini selain digunakan untuk beribadah juga digunakan untuk sarana pendidikan Islam, sarana kajian keislaman, dan sarana kebudayaan. Masjid Al-Mimbar pun terbuka selama 24 jam bagi siapa saja yang ingin memperdalam keislaman. Karena dulunya, KH Khasan Mimbar pun berpesan untuk memperdalam agama dan menerapkannya di tanah pardikan Majan tersebut. “Desa Majan dulu itu merupakan pardikan Majan, memiliki kebijakannya sendiri dan terlepas dari pajak Hindia Belanda. Barulah setelah tahun 1979, Desa Majan bergabung dengan kedaulatan NKRI. Jadi dulu itu sangat terkenal sekali kalimat seperti ‘merdeka sebelum merdeka’ dan ‘merdeka setelah merdeka’,”tutupnya. (mg2/c1/din)