TULUNGAGUNG – Kembar mayang sebagai perangkat di pernikahan Jawa memiliki nilai filosofis tersendiri, namun kini krisis regenerasi. Agar lestari, tercipta perlombaan kembar mayang di Desa Kendalbulur, Kecamatan Boyolangu.
Suasana Nangkula Park di Desa Kendalbulur, Kecamatan Boyolangu kemarin (27/3) agak berbeda dibanding biasanya. Di sana banyak orang-orang berpakaian adat Jawa berlalu-lalang. Baik itu yang hanya memakai udeng, baju batik, maupun busana pernikahan Jawa. Bahkan, janur warna hijau muda bertebaran di Balai Urip Iku Urup yang letaknya di ujung taman bermain itu.
Tidak berselang lama terdengar sorak-sorai. Usut punya usut, ternyata di situ ada kompetisi membuat kembar mayang dari warga Desa Kendalbulur. Perangkat pernikahan Jawa ini memang lagi krisis regenerasi, karena memang tidak mudah dalam pembuatannya dan tidak semua orang bisa. Bahkan dalam lomba pembuatan kembar mayang ini, para peserta harus berekelompok lima hingga tujuh orang tiap rukun warga (RW).
Namun, rata-rata peserta berumur 40 ke atas yang diikuti oleh kaum adam Kendalbulur. Suasana perlombaan ini berjalan dengan kompetitif, persaingan antar-RW terasa dengan melihat karya siapa yang selesai lebih dulu. Bahkan, kelompok yang selesai paling akhir sempat menerima tekanan dengan hitungan mundur oleh kelompok lain. “Ini kelompok saya awalnya tidak bisa membuat kembar mayang. Butuh tiga hari agar karya kami ini bisa jadi. Wajar saja, karena dalam proses pembuatannya butuh ketelaten tingkat tinggi,” ujar Sunari, anggota kelompok RW 3 Dusun Rongganan, Desa Kendalbulur.
Kelompoknya membutuhkan waktu 45 menit untuk merampungkan sepasang kembar mayang. Mereka dituntut bekerja sama membuat susunan janur agar dapat berdiri hingga setinggi 1 meter seperti layaknya pohon. Suasana lempar kata-kata provokatif antarkelompok tercipta, menambah persaingan semakin hidup dalam kompetisi ini.
Kelompok Sunari yang memakai pakaian merah ini ketika di akhir perlombaan diumumkan sebagai juara 2, usahanya membuahkan hasil karena kekompakan kelompoknya dan pengalaman yang dimiliki. Namun, kemenangan ini hanya untuk dapat dimanfaatkan dalam lingkungannya ketika ada hajatan pernikahan Jawa. “Meskipun juara 2, kami tidak membuka jasa pembuat kembar mayang. Kami ingin keahlian ini dapat digunakan untuk masyarakat lingkungan sekitar, agar dapat lestari. Karena tidak banyak yang bisa membuat kembar mayang,” terang Sunari, ketika ditemui usai menyelesaikan kembar mayangnya.
Kemeriahan atas kemenangan perlombaan ini juga dirasakan Suwondo, salah satu anggota RW 2 Dusun Genting. Apalagi, kelompoknya dinyatakan sebagai juara 1 dalam kompetisi ini. Dia menceritakan bila rata-rata peserta kesulitan dalam membuat anyaman burung dan belalang. Memang, jika dilihat anyaman bentuk hewan tersebut harus memasukkan janur dengan rangkaian hampir mirip aslinya. Seperti belalang, yang janurnya harus terlipat masuk untuk membentuk tubuh serangga warna hijau itu.
Laki-laki 45 tahun ini menceritakan memang terbiasa membuat kembar mayang untuk keperluan hajatan pernikahan Jawa di lingkungan rumahnya. Karena itu, waktu 1 jam yang diberikan oleh panitia masih tersisa 15 menit ketika menyelesaikan karya seni Jawa ini. Namun, Suwondo dan kelompoknya, sebelumnya berlatih sebanyak lima kali dalam mempersiapkan kompetisi ini. “Saya melihat tradisi pembuatan kembar mayang di lingkungan kami banyak dilakukan oleh para orang tua. Karena itu dengan adanya ini ya berharap adanya regenerasi anak muda seperti saya, nantinya saya juga koordinasi dengan lingkungan agar ada regenerasi lebih lanjut,” ungkapnya.
Sedangkan untuk sistem penilaian dalam lomba ini, tokoh adat Desa Kendalbulur bernama Mbah Yadi menuturkan bila harus melihat kerapian dalam membentuk janur-janurnya. Selain itu juga memandang cara para peserta menancapkan janur di batang pohon pisang sebagai penyangga kembar mayang.
Terakhir, kelengkapan bentuk janur dalam pembuatan kembar mayang tersebut. Seperti bentuk kembang kantil, burung, belalang, kembang temu, paying, dan keris. Jika ditelisik makna dari berbagai bentuk janur itu filosofis terhadap pernikahan Jawa.
Bentuk keris, berarti melindungi dari marabahaya. Bentuk belalang, menjauhkan kehidupan rumah tangga dari segala macam halangan. Bentuk payung bermakna pengayoman. Bentuk burung melambangkan kesetiaan.
Sementara itu, Kepala Desa Kendalbulur Anang Mustofa menceritakan bila lomba pembuatan kembar mayang ini merupakan kegiatan dari lembaga adat setempat. Bahkan, kompetisi ini telah dibentuk sejak tahun 2020 lalu. Niatnya ingin ada regenerasi dalam pembuatan kembar mayang, karena menurutnya pembuat perangkat pernikahan Jawa ini banyak ditemui orang berumur lebih dari 60 tahun.
Dalam perlombaan ini tidak dengan tiba-tiba para anggota bisa membuat kembar mayang. Anang menjelaskan bila membutuhkan waktu 1 tahun untuk menyosialisasikan lomba ini di tiap RW. Dengan demikian, para kelompok yang ikut dapat siap untuk mengikuti lomba yang jarang sekali ditemui di daerah lain. “Lomba kembar mayang ini diikuti tujuh RW dengan tujuh anggota pada tiap kelompoknya. Selain itu, saya berharap dengan adanya perlombaan ini dapat menjaga keriafan lokal daerah kami sehingga tidak kebingungan dalam generasi penerus,” pungkasnya.(*/c1/rka)