TRENGGALEK – Ecoprint saat ini kian digandrungi masyarakat tidak terkecuali di Bumi Menak Sopal. Sebab memanfaatkan pola dari dedaunan yang ada disekitar hasil yang ada terlihat lebih alami dan indah. Ini seperti yang dilakukan Anik Mintorowati.
Pemandangan terlihat berbeda ketika Jawa Pos Radar Trenggalek ini bertandang di kediaman Anik Mintorowati di Desa Buluagung, Kecamatan Karangan, kemarin (28/7). Sebab saat itu terlihat dia sedang memetik dedaunan yang ada di sekitar rumahnya. Setelah itu dedaunan tersebut, dimasukan dalam wadah dan dipisahkan berdasar jenisnya. Ya aktivitas tersebut dilakukan hampir setiap hari untuk membuat ecoprint.
Itu dilakukan lantaran Anik sapaan akrab Anik Mintorowati menangkap peluang bisnis yang menarik pada aktivitas dengan memanfaatkan barang dari alam tersebut. Dari situ dia memiliki mimpi besar sejak awal 2019 lalu untuk menjadikan dedaunan yang ada di sekitarnya menjadi buah karya yang memiliki nilai ekonomis. “Setelah pandemi sekitar dua tahun, saat ini perlahan sudah mulai pulih, sehingga aktivitas membuat ecoprint ini dimulai lagi. Apalagi seiring berjalannya waktu produk kain ecoprint mulai banyak digandrungi,” kata Anik kepada koran ini.
Sedangkan untuk proses pembuatan sendiri, sebelum dirinya menata dedaunan di atas kain yang sudah disiapkan. Terlebih dahulu harus kain tersebut harus mengalami proses mordant selama semalam. Tujuannya adalah untuk mengikat warna yang dihasilkan oleh daun yang ditempel. Tidak ketinggalan juga kain lain yang digunakan untuk pewarna lain pada proses ecoprint tersebut.
Sehingga setelah daun ditata pada kain yang telah disiapkan, kain tersebut ditutup kain lagi sebagai pewarnaan dasar, hingga ditututup dengan plastik dan dilanjut digulung dengan rapi yang rapat. Setelah itu dikukus selama dua jam dan diangkat untuk bisa mengetahui hasilnya. Di tahap akhir, kain yang muncul corak batik alam ini diangin-anginkan hingga sekitar tiga hari untuk bisa dipakai.
Namun dalam proses pembuatan ecoprint tersebut yang lebih menantang adalah menentukan perpaduan warna yang dihasilkan daun dengan warna dasar sendiri. Sebab jika perpaduan tidak tepat pastinya hasilnya kurang sempurna. Karena corak daun yang ada tidak bisa terlihat dengan jelas. Itu terjadi lantaran perpaduan dari tiga unsur dalam ecoprint tersebut yaitu warna alami pada daun, zat kimia yang digunakan untuk mordant, juga jenis kain yang digunakan akan menghasilkan warna yang berbeda. “Karena itu agar tidak salah saya selalu membuat catatan jenis daun apa, dengan perpaduan bagaimana dan warna yang dihasilkan seperti apa,” ungkap Anik.
Sedangkan untuk saat ini jenis daun apa yang paling diminati masyarakat dirinya tidak bisa menyebutkan secara pasti. Sebab semua memiliki selera tersendiri dalam memilih motif daun yang digunakan. Itu semisal ada pelanggan yang ingin motif pada kain ecoprint beberapa jenis daun, juga ada yang hanya satu jenis daun saja. Apalagi saat ini tak hanya sebagai busana, belakangan kain batik yang dirancang dengan sistem ecoprint juga dia kembangkan untuk sepatu hingga mukena. “Banyak yang suka karena unik. Uniknya Karena desain daun yang satu dengan yang lain kan tidak ada yang sama, jadi penuh warna dan seni,” tuturnya.
Sehingga saat ini busana dengan konsep ecoprint sudah menjadi tren, mulai dari kalangan remaja hingga dewasa. Sebab selain banyak yang menganggap desainnya unik, juga tak kalah penting lagi, ramah lingkungan, dan limbah yang digunakan bisa langsung dibuang karena tidak berbahaya pada alam. Sedangkan untuk sementara ini selain menyasar pasar lokal, juga sudah ada pelanggan dari beberapa daerah yang memesan. Itu terjadi setelah dirinya beberapa kali mengikuti pameran terkait produk ecoprint tersebut. Dari situ untuk harga sendiri, bahan yang masih berbentuk kain dibandrol seharga Rp 250 ribu hingga Rp 1 Juta perhelainya, tergantung jenis kain yang digunakan. Sedangkan untuk baju minimal seharga Rp 300 ribu. “Itu untuk harga pasar lokal, sedangkan ketika masuk pameran pastinya harganya kami sesuaikan,” jelas ibu dua anak ini. (*/rka)