TULUNGAGUNG – Pada beberapa tahun terakhir ini minim temuan kasus bullying atau perundungan yang terjadi di sekolah. Sejauh pemberlakuan pembelajaran tatap muka, tidak ada laporan maupun kasus temuan perundungan secara fisik yang terjadi. Namun, perundungan secara verbal masih sering ditemui. Salah satu faktor penyebabnya, yakni banyaknya influencer yang berkata kotor dan kasar sehingga mudah untuk ditiru peserta didik.
Salah satu guru bimbingan konseling (BK) di Tulungagung, Sutoyo megatakan, kasus perundungan baik itu berupa secara fisik maupun verbal sangat jarang ditemuinya pada lembaga pendidikan yang dinaunginya.
Menurut dia, telah banyak dari peserta didik yang akan melaporkan jika terjadi perundungan di sekolah. “Anak-anak sekarang itu kalau melihat temannya di-bully langsung lapor ke guru, jadi ya dari pihak sekolah bisa langsung menangani kasus bullying itu,” jelasnya kemarin (27/7).
Lanjut dia, ditambah dengan adanya pembelajaran secara daring saat maraknya pandemi Covid-19, itu semakin mengurangi tingkat perundungan. Namun, tetap saja harus tetap waspada akan tindakan tersebut. “Bullying itu tidak memandang tempat dan kondisi. Bisa di mana saja dan bisa pada kondisi apa pun,” paparnya.
Meski pembelajaran tatap muka kali ini sudah 100 persen, permasalahan terkait adanya laporan ataupun kasus perundungan di sekolah sangat minim terjadi.
Banyak faktor yang menyebabkan kasus perundungan di sekolah tersebut bisa minim. Yakni, adanya pemberlakuan tata tertib pendisiplinan pada peserta didik. “Jadi selain kita mencetak peserta didik yang berkarakter, kita juga harus membuat peserta didik itu disiplin dengan peraturan dan tata tertib yang ada. Contohnya, harus berpakaian rapi saat di sekolah dan berkata baik kepada guru,” ucapnya.
Dia mengaku bahwasanya perundungan secara fisik memang sangat jarang ditemui di sekolah. Namun, perundungan secara verbal masih sering ditemui. “Ya dari misuh-misuh ke temannya dengan nada tinggi, sampai bicara dengan guru itu memakai bahasa Jawa kasar. Padahal, saya sudah beri tau, kalau tidak bisa pakai bahasa Jawa alus (kromo inggil) ya pakai bahasa Indonesia saja,” ungkapnya.
Disinggung terkait sanksi yang diberikan kepada peserta didik yang melakukan perundungan secara verbal, dia mengaku, sesuai dengan latar belakang pendidikan, pihaknya juga akan melakukan penghukuman peserta didik dengan didikan yang lebih baik. Sangat tidak etis jika sebagai guru memberikan sanksi ke peserta didik dengan hanya memarahi peserta didik tersebut. “Contoh ya, ada siswa yang melakukan perundungan secara verbal ke temannya atau bahkan gurunya. Itu jangan langsung dimarahi di muka umum dan ditontonkan ke teman-temannya. Alangkah baiknya jika dipanggil ke ruang BK dan ditelusuri permasalahan yang dialami siswa itu seperti apa. Dengan demikian, kita bisa memberikan pembelajaran yang lebih baik kepada anak tersebut,” tutupnya. (mg2/c1/din)