Kota, Radar Tulungagung – Ditinggal buah hati merantau, Misanah, 81, memilih tinggal sendiri dan jauh dari garis kemakmuran. Kini dia telah menetap di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar di Tulungagung. Banyaknya teman sejawat membuatnya terlena untuk melupakan kepahitan hidup barang sejenak.
Di balik pintu dengan gaya kupu-kupu, terbaring puluhan lansia dari berbagai wilayah. Salah satunya, Misanah. Dia merupakan seorang penjual nasi pecel dan memiliki pelanggan istri dari Bupati Tulungagung. Misanah telah berjualan nasi pecel selama kurang lebih 30-an tahun. “Dulu, Bu Siyuk itu pelanggan setia saya, setiap beli nasi pecel itu pasti sama saya,” jelasnya kemarin (3/01).
Ditinggal suami membuatnya terpaksa menjalani kehidupan dengan seorang anak laki-laki semata wayangnya. Namun, tak berselang lama, anak laki-laki semata wayangnya terpaksa pergi merantau sekaligus menikah di perantauannya, di Sumatera. “Awalnya merantau, kemudian menikah dan menetap di sana,” ucapnya.
Katinem sebenarnya sempat bertemu dengan anak dan menantunya. Namun, menurutnya, ketidakcocokannya dengan anak menantu menjadikan hubungan mereka merenggang. Akibatnya, dia memilih untuk bertahan hidup sendiri dan meneruskan jualan nasi pecel daripada ikut anaknya ke Sumatera. “Saya didiamkan, tidak pernah diajak bicara sama menantu saya itu. Ya mau bagaimana lagi, karena tidak cocok, saya pilih hidup sendiri,” paparnya.
Sebelum menetap di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar di Tulungagung, diketahui rumah yang ditempati perempuan kelahiran 1941 ini sudah tidak layak huni. Berdinding anyaman bambu dan reyot tergambar pada saat melihat rumah Katinem. Tak hanya itu, kediaman Katinem sempat disangga dengan bambu agar tidak roboh ke sungai yang tepat berada di belakang rumahnya. “Ya kalau rumah saya itu kondisinya seadanya. Terpenting masih bisa ditempati,” ungkapnya.
Pada masa perjuangannya hidup sebatang kara tersebut, dia hanya bisa mengandalkan uluran tangan dari tetangga untuk makan. Itu pun dengan porsi secukupnya. Menurut dia, masa itu merupakan mimpi buruknya untuk menjadi orang tua. “Makannya tidak teratur. Wong hanya mengandalkan bantuan dari tetangga saja. Biasanya dibantu bahan-bahan masakan gitu, tinggal masak sendiri,” ucapnya.
Dia telah menetap di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha selama kurang lebih lima tahun. Sebelum menetap di Tresna Werdha, tubuh Misanah tampak kurus bak tinggal kulit dan tulang saja. Namun, kini dia terlihat lebih segar dengan berat tubuh lebih berisi. “Kalau di sini, makan pasti tiga kali sehari. Belum lagi ada jajanan camilan gitu,” paparnya.
Banyaknya teman sejawat dan beragam aktivitas di Tresna Werdha dapat menjadi pelipur lara bagi Misanah. Dia merasa senang dan betah tinggal di sana, meski pun sering merasa kesepian ketika tebersit anak semata wayangnya. “Alhamdulillah di sini enak, banyak temannya. Senang lah, banyak yang menemani,” tutupnya. (*/c1/din)