TULUNGAGUNG – Pengadaan alat sekolah dalam program bantuan siswa miskin (BSM) di Tulungagung terus jadi sorotan. Itu lantaran data-data dan fakta di lapangan berbeda dari yang dijanjikan. Bahkan, keluhan masyarakat atas kualitas barang yang didapat siswa tak sebanding dengan harga di pasaran.
Pemerhati Pendidikan, Susetyo Nugroho mengatakan telah mengumpulkan beberapa data-data seperti berkas-berkas dan contoh barang dari pengadaan BSM serta pernyataan dari wali murid. Kemudian, pada kepengurusan surat keterangan tidak mampu dari wali murid, berketerangan jika penggunaan sistem pengadaan BSM menggunakan e-money (uang elektronik). “Jadi, kami mulai mengumpulkan data itu. Mulai dari surat jawaban sekitar 3 Januari 2022, kemudian pers rilis yang dikeluarkan dinas pendidikan pemuda dan olahraga (disdikpora) untuk DPRD dan perbup yang digunakan sebagai landasan. Seiring waktu, kami juga mendapatkan contoh-contoh barang yang dibagikan pada program BSM, kemudian kami berusaha mencari pembandingnya di pasaran,” jelasnya kemarin (2/6).
Lanjut dia, kejanggalan-kejanggalan pada program pengadaan BSM tersebut sangat jelas sekali. Tak hanya surat keterangan tidak mampu yang berketerangan sistem pengadaan BSM menggunakan e-money, tapi pada kenyataannya berbeda dengan fakta yang ditemukan di lapangan. “Ini kan program tahun 2021 yang mana pada pelaksanaannya dilakukan tahun 2022. Saya curiga ini merupakan kegiatan yang hanya dilakukan untuk mencari celah. Contoh, pada saat sosialisasi kepada wali murid, sistem pengadaan BSM ini menggunakan e-money, tapi ternyata bukan berupa e-money melainkan hanya kertas ber-barcode,” paparnya.
Dia mengaku, wali murid yang mendapatkan jatah pengadaan BSM tidak bisa menggunakan kertas ber-barcode tersebut selayaknya penggunaan e-money. Selanjutnya, wali murid harus membelanjakan kertas ber-barcode tersebut ke Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) setempat.
Dengan begitu, kata dia, fungsi kepengawasan pada program pengadaan BSM tersebut sangatlah tumpul. Itu disebabkan tidak adanya data resmi penerima pengadaan BSM. “Tidak ada data resmi by name by address penerima. Karena itu, bagaimana mereka melihat jumlah siswanya secara detail tanpa sampling, itu juga sebuah celah untuk menurunkan volume penerima,” ucapnya.
Di samping itu, dia sempat melakukan sampling terbatas pada kelas 9 SMP. Diketahui, saat ini kelas 9 SMP sudah tidak masuk sekolah karena telah melakukan ujian akhir. Maka, jatah pengadaan BSM untuk kelas 9 SMP banyak yang belum dibagikan. “Dari sampling kami itu, sebanyak 50 persen yang belum dibagikan dari jumlah 9.409 siswa kelas 9 SMP. Jika tidak dibagikan sebanyak 50 persen itu saja, sudah ketemu angka Rp 1 miliar. Itu belum SD,” ungkapnya.
Banyak sekali indikasi dan celah-celah kecurangan yang bisa dilakukan pada program pengadaan BSM tersebut. Tentu yang bertanggung jawab atas program pengadaan BSM tersebut yakni dinas terkait. Sebab, dinas tersebut merupakan pengguna anggaran. “Akhirnya pada program pengadaan BSM itu ada celah mark up harga, karena tidak dilaksanakannya perencanaan,kemudian pengurangan volume dan ketika Kartu Indonesia Pintar (KIP) tidak sebagai e-money maka kembalian pembayaran dari kebutuhan siswa tidak terdeteksi dan tidak terambil,” ucapnya.
Berdasarkan data yang berhasil kumpulkan, yaitu jumlah anggaran bantuan nontunai untuk siswa kurang mampu jenjang SD/MI sekabupaten ini berjumlah Rp 8.123.100.000, sedangkan untuk jenjang SMP/MTs berjumlah Rp 10.275.750.000. Dengan begitu, jumlah total anggaran bantuan pengadaan BSM tersebut berjumlah Rp 18.398.850.000. Anggaran tersebut bersumber dari APBD tahun 2021.
Rinciannya, yakni untuk SD/MI kelas 1 mendapatkan bantuan Rp 600 ribu per siswa dan kelas 3, 4, 5, dan 6 mendapatkan bantuan Rp 150 ribu per siswa. Kemudian, untuk SMP/MTs kelas 7 mendapatkan batuan Rp 750 ribu per siswa dan kelas 9 akan mendapatkan bantuan Rp 250 ribu per siswa. Jumlah keseluruhan siswa yang berhak mendapatkan pengadaan BSM tersebut sebanyak 54.552 siswa.
Kemudian, harga angket barang yang ditentukan pada pengadaan BSM untuk SD/MI antara lain seragam merah putih Rp 105 ribu (lengan pendek) dan Rp 115 ribu (lengan panjang), seragam batik Rp 115 ribu (lengan pendek) dan Rp 120 ribu (lengan panjang), seragam pramuka Rp 115 ribu (lengan pendek) dan Rp 120 ribu (lengan panjang), seragam olahraga Rp 65 ribu (lengan pendek) dan Rp 70 ribu (lengan panjang), tas sekolah Rp 75 ribu, sepatu Rp 110 ribu, kaus kaki Rp 10 ribu, topi Rp 11 ribu, dasi Rp 7 ribu, hasduk dan tali Rp 13 ribu, ikat pinggang Rp 12 ribu.
Kemudian untuk SMP/MTs antara lain, seragam putih biru Rp 135 ribu (lengan pendek) dan Rp 145 ribu (lengan panjang), seragam batik Rp 145 ribu (lengan pendek) dan Rp 160 ribu (lengan panjang), seragam pramuka Rp 140 ribu (lengan pendek) dan Rp 150 ribu (lengan panjang), seragam olahraga Rp 75 ribu (lengan pendek) dan Rp 80 ribu (lengan panjang), tas sekolah Rp 75 ribu, sepatu Rp 120 ribu, kaus kaki Rp 10 ribu, topi Rp 11 ribu, dasi Rp 15 ribu, hasduk dan tali Rp 13 ribu, ikat pinggang Rp 12 ribu.
Sementara itu, Waka Kurikulum SMPN 3 Tulungagung, Achmad Saikhu mengatakan, program pengadaan BSM tahun ini terbilang efisien dalam segi pembagian. Namun, pihaknya masih merasa adanya kekurangan pada pelaksanaan program pengadaan BSM yang mana selalu terjadi setiap tahunnya. “Tahun ini keterlambatan pengadaan bantuan siswa tidak mampu, terlambat sekitar satu semester,” jelasnya.
Tahun ini ada sekitar 300-an siswa dari kelas 7 dan 9 yang mendapatkan bantuan pengadaan BSM di sekolah tersebut. Sedangkan untuk kelas 7, masing-masing siswa mendapatkan barang senilai Rp 700 ribu dan kelas 9 mendapatkan barang senilai Rp 250 ribu.
Dia membeberkan, barang-barang yang didapatkan para siswa yaitu seragam lengkap, topi, dasi, hasduk, ikat pinggang, kaos kaki, sepatu, hingga tas. “Semua barang yang kami dapat pada tahun ini sudah habis, berarti siswa kami memerlukan semua itu,” paparnya.
Sementara itu, Kepala SDN 4 Kampungdalem, Muhadi mengatakan, dari segi kualitas dan waktu pendistribusian barang di tahun ini terbilang baik. Namun, masih ada permasalahan-permasalahan yang dijumpai pada pengadaan BSM tersebut. Di antaranya, ukuran seragam tidak sesuai dan ketidaksesuaian data yang diusulkan untuk mendapat kartu e-money dengan kartu yang dibagikan. “Padahal, kartu tersebut nantinya digunakan para siswa untuk mengambil jatah barang yang didapat dari program BSM. Permasalahan seperti itu masih kami temui sampai kini, padahal itu sudah terjadi sejak tahun-tahun lalu dan belum ada perubahan,” jelasnya.
Di sisi lain, salah satu wali murid, Maulana mengatakan, bahwa dirinya merasa bersyukur dengan adanya program pengadaan BSM yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk membantu pembelanjaan keperluan sekolah. Namun karena keterlambatan pendistribusian, dia terlebih dahulu membeli perlengkapan sekolah anaknya di pasar.
Dia menegaskan, kualitas barang dari program pengadaan BSM yang didapatkannya tidak lebih baik dari barang yang dibeli di pasar. “Saya itu beli sepatu anak di pasar, harganya sekitar Rp 70 ribu dan tas sekitar Rp 65 ribu, tapi kualitas barangnya bagus, Mas. Nah, ini, kualitas barang yang diberikan oleh pemerintah malah kalah sama barang yang ada di pasar. Seharusnya kan lebih baik,” tandasnya. (mg2/c1/din)