TULUNGAGUNG- Dahulu banyak anak bercita-cita ingin menjadi seorang guru, tetapi kini nasib seorang guru sedang digadai dengan kesejahteraan. Bagaimana tidak, upah guru, apalagi guru dengan status honorer semakin menjauhkan guru dari kehidupan yang layak. Pintar mengatur keuangan atau mencari pekerjaan sampingan adalah satu-satunya solusi bagi guru honorer saat ini.
Salah satu guru honorer, Setiawan Kumala Sakti menceritakan, tidak sedikit guru honorer rela makan satu kali dalam sehari demi kebutuhan membelikan susu formula untuk anaknya. Kondisi tersebut sempat dirasakannya. “Susu formula itu satu kardus harganya sekitar Rp 50 ribu, Mas. Ketika dijumlah, katakan satu minggu habis tiga kardus, itu sudah Rp 150 ribu. Nah, itu kalau satu bulan sudah Rp 600 ribu, padahal upahnya sebagai guru honorer hanya berkisar Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu. Terbilang sedikit dan memang tidak cukup,” jelasnya.
Pintar mengatur keuangan dan mencari pekerjaan sambilan adalah keahlian lain yang harus dimiliki guru honorer. Upah yang didapat tersebut tidak cukup sekadar untuk membeli kebutuhan. “Banyak sekali guru honorer yang harus mencari pekerjaan sampingan hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Jadi, tidak heran kalau mereka ada yang nyambi sambil dagang, ada yang ngojek, dan lainnya,” paparnya.
Kondisi-kondisi tersebut rela dilakoni demi satu kalimat, yakni demi mencerdaskan generasi bangsa. Pengabdian seorang guru dengan mengaplikasikan keilmuan yang dimiliki demi terwujudnya generasi-generasi kompeten, perlu perjuangan di dalamnya. “Bagi saya, jiwa pengabdian itu merupakan semangat utama bagi pendidikan. Jiwa pengabdian seorang guru untuk mengaplikasikan ilmu ke anak-anak, demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan bernegara,” ucapnya.
Sebenarnya, dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) terdapat aturan yang mengarahkan bahwa alokasi dana biaya operasional sekolah (BOS) bisa digunakan untuk pemberian honor guru honorer maupun pegawai tidak tetap hingga 50 persen. Baginya, peraturan tersebut ialah salah satu upaya dari pemerintah pusat untuk menyejahterakan guru honorer di daerah. “Akan tetapi, aturan itu juga tergantung pada pimpinan lembaga atau kepala sekolah. Kalau misal kepala sekolahnya itu mempunyai kebijakan atau rasa kemanusian yang tinggi, aturan itu bagi kami merupakan suatu hal yang luar biasa,” ungkapnya.
Tak hanya itu, juga terdapat kebijakan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tulungagung untuk menambah upah transportasi yang didapat guru honorer. Namun, kebijakan tersebut tidak dirasakan seluruh guru honorer dan hanya sebagian yang mendapatkan upah transportasi tambahan tersebut. “Upah transportasi dari pemkab itu setiap bulannya diberikan sekitar Rp 350 ribu. Akan tetapi, kebijakan tersebut belum merata ke seluruh teman-teman honorer. Aturan itu juga tergantung dari jumlah siswa. Jika jumlah siswanya sedikit memengaruhi jumlah BOS dan membuat jumlah nominal yang diterima guru honorer itu juga terbilang sedikit,” tutupnya. (*/c1/din)