KABUPATEN BLITAR – Peternak ayam petelur di Bumi Penataran sedang tidak baik-baik saja. Jangankan membayar angsuran, memberi pakan ternak sulit dilakukan. Sebagian peternak pilih jadi pensiunan agar tak tertimbun hutang.
Belakang rumah Sumantri kini sepi. Tak terdengar lagi riuh suara ayam petelur seperti beberapa waktu lalu. Sebagian besar kandang milik warga Desa Suruhwadang, Kecamatan Kademangan, itu juga tidak utuh. Bagian atapnya banyak yang dibongkar, menyisakan puing dari bambu yang terlihat kering dan usang.
Di bawah bangunan tanpa atap itu, Sumantri sibuk memindahkan baterai. Cuaca terik yang membakar kulit seolah tak dirasakan. Baginya, kini ada banyak hal yang lebih berat untuk dipikul sehingga panas matahari ini bisa diabaikan.
Satu setengah tahun ini, iklim usaha peternakan tidak baik. Para peternak ayam petelur harus bekerja lebih ekstra sejak pandemi melanda. Bertahan dengan segala cara agar usaha tetap berjalan. “Dua minggu lagi kandang ini akan saya bersihkan (dijual, Red),” akunya sembari menata baterai tempat ayam biasa menghasilkan cuan.
Pekarangan belakang rumah Sumantri dulunya menjadi tempat tinggal ribuan ayam petelur. Kini populasi ayam yang dia miliki tak lebih dari 250 ekor.
Awalnya, pola gali lubang tutup lubang dilakukan untuk melanjutkan usaha di masa pandemi korona. Namun lambat laun, strategi itu tidak lagi jitu. Beban hutang yang ditanggung peternak menyentuh ambang batas. Tak ada lagi aset yang bisa dijadikan agunan.
Tak pelak, peternak terpaksa menggunakan alternatif lain. Yakni mengurangi populasi. Hal itu terpaksa dilakukan karena biaya produksi dan hasil yang didapatkan tidak seimbang. Hal ini berlaku cukup lama, tak hanya hitungan pekan tapi berbulan-bulan. “Jadi, ayam dijual untuk tambah belanja pakan ayam. Ayam tidak lagi makan sertifikat dan kendaraan, tapi kini ayam sudah makan ayam,” ucapnya mengibaratkan.
Harga telur memang sangat dinamis. Namun, kesempatan peternak mendapatkan cuan jauh lebih pendek dari masa peternak mengalami kerugian.
Beberapa pekan terakhir, telur ayam dihargai hanya sekitar Rp 16 ribu per kilogram. Untuk mencapai titik impas, setidaknya harga jual telur minimal Rp 19 ribu per kilogram. Ya, ada minus Rp 4 ribu yang mau tak mau harus ditelan.
Sebenarnya, peternak masih merugi jika nilai jual telur mencapai Rp 19 ribu per kilogram. Pasalnya, ada komponen yang juga harus diperhitungkan peternak. Misalnya tenaga kerja, serta dana pasif untuk membeli ayam baru. Maklum, ayam juga memiliki masa produktif dan harus diganti jika waktu itu sudah tiba. “Idealnya agar sebanding dengan biaya produksi harga jual telur minimal Rp 23 ribu. Itu baru harga pokok produksi (HPP) bisa ditutup,” katanya.
Sayang, momentum pandemi ini benar-benar membawa pukulan telak untuk peternak di Kabupaten Blitar. Tidak hanya puluhan, bahkan ratusan peternak kini sudah angkat tangan menjadi ‘pensiunan’ peternak. “Peternak hari ini tidak enak makan, tidak nyenyak tidur, karena tanggungan hutang di bank,” ujar Sugeng, peternak lain.
Mengakhiri profesi peternak tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Namun, jika tetap dipertahankan jelas akan membuat peternak semakin terpuruk. Utamanya peternak kecil yang tidak begitu memiliki modal. “Awal pandemi kami masih bisa bertahan, ada simpanan. Tapi tabungan puluhan tahun itu ternyata tidak cukup, bahkan sertifikat dan aset sudah diagunkan ke bank,” jelasnya.
Hal itu juga dirasakan Sumantri. Meski sudah memutuskan berhenti dan menjual semua ayam, ada tanggungan hutang di bank. Tidak hanya puluhan, tapi sudah mencapai ratusan juta. Itu untuk peternak selevel Sumantri yang memiliki populasi ribuan ekor. Kondisi lebih parah jelas juga dialami peternak yang memiliki unggas lebih banyak.
Bapak dua anak itu juga belum memiliki rencana pasti pascapensiun dari dunia peternakan. Baginya yang paling utama saat ini adalah menghentikan tambahan utang. “Masih belum tahu, mau kerja apa lagi. Mau melamar jadi anak kandang, rekan peternak yang besar juga tidak mungkin menampung,” jelasnya.
“Karena mereka juga sudah lama merumahkan anak kandang masing-masing untuk mengurangi ongkos produksi,” tandasnya. (*/c1/wen)