KOTA BLITAR – Di Kampung Sideyy Baru, Distrik Sideyy, Kabupaten Manokwari, Nio Awandha Nehru serasa berada di Blitar. Sebagian besar warganya menggunakan bahasa Indonesia, tapi dikombinasikan bahasa lokal dengan dialek cepat.
Sebulan lamanya, Nio Awandha Nehru menjadi bagian dari 34 peserta mengikuti pertukaran pemuda antarprovinsi. Mewakili Jatim, Nio dikirim ke Papua Barat. Tepatnya di Distrik Sideyy, Kampung Sideyy Baru, Kabupaten Manokwari. “Tidak sesuai bayangan. Kami disambut dengan reog,” ujarnya, mengawali cerita kepada Radar Blitar, kemarin (10/8).
Nio dan rekan-rekannya tiba di Manokwari pada 5 Juli lalu. Berikutnya, mereka harus menempuh jarak sekitar 100 kilometer untuk sampai di lokasi penempatan. Yakni, Kampung Sidey Baru, Distrik Sidey. Sesampainya di sana, bukan suasana hutan asri, melainkan perkampungan. Nah, yang menjadi tantangan lain di kampung ini adalah jaringan.
Secara kebetulan, tempat rombongan ini juga banyak dihuni transmigran. Mereka membawa seni budaya dari daerah asal masing- masing. Karena itu, tak heran di tempat ini juga ditemui kesenian reog, jaranan, ataupun seni budaya lain. “Warga transmigran juga menggunakan bahasa asal mereka,” kata Nio.
Suasana lingkungan perkampungan di sana cukup baik. Namun, ada beberapa kearifan lokal yang mungkin tidak sama dengan daerah lain. Misalnya, cara masyarakat memelihara ternak secara liar alias tidak dikandangkan. Selain itu, masyarakat juga menggunakan pinang sebagai sarana untuk menjaga kesehatan mulut. “Sampai di kampung ini ada banyak bercak merah di jalanan, tak pikir darah ternyata ludah,” ucapnya.
Kegiatan berburu masih dilakukan warga suku Meyah. Mereka juga memiliki beberapa rumah. Maklum, saat mereka berburu rusa di hutan, kadang membangun rumah baru sebagai hunian sementara. “Jadi di sana itu daging rusa lebih murah dari daging lainnya, bahkan cilot saja pakai daging rusa. Itu (teksturnya, Red) sedikit keras, tapi enak,“ terangnya.
Pertukaran pemuda antarprovinsi ini mengemban misi pembangunan desa. Ada beberapa bidang yang nanti digarap di lokasi penempatan. Di antaranya, seni budaya, pendidikan, kesehatan, hingga media atau publikasi. Warga Desa Penataran, Kecamatan Nglegok itu didapuk menjadi koordinator untuk bidang pendidikan.
Serangkaian kegiatan edukasi dan literasi menjadi program yang dilaksanakan selama sekitar 30 hari di wilayah tersebut. Warga lokal, dalam hal ini suku Meyah menjadi prioritasnya.
Secara umum, ada banyak lembaga pendidikan di Distrik Sidey ini. Sayangnya, komponen pendukung literasi belum banyak tersedia. Misalnya, perpustakaan sekolah. Ini juga menjadi salah satu tugas Nio dan timnya di bidang pendidikan untuk mengupayakan ketersediaan buku untuk anak-anak sekolah. “Kami usulkan kepada pemerintah daerah dan pemerintah provinsi untuk membantu ketersediaan buku. Syukur usulan ini ditindaklanjuti dengan cepat,” terangnya.
Tak ada kendala dalam komunikasi, meskipun bahasa yang digunakan sedikit berbeda. Ada pemotongan kata. Karena itu, orang baru harus mendengarkan secara jeli agar tidak salah paham. “Kopi mana? Itu bukan tanya soal kopi, tapi tanya ‘kau mau pergi ke mana’?” kata Nio memberikan contoh.
Tak hanya pemangkasan kata, umumnya warga suku Meyah juga berbicara cepat. Itu ditambah dengan logat lokal sehingga kadang membuat bingung lawan bicara.
Nio merasakan betul kesenjangan pendidikan di daerah asalnya dengan wilayah tersebut. Tak hanya masih kesulitan untuk menggunakan bahasa yang benar, anak-anak di wilayah ini rata- rata memiliki kesulitan dalam hal menghitung. “Tapi semangat dan keingintahuan mereka sangat tinggi,” ungkapnya.
Waktu sebulan dalam melaksanakan misi pembagunan desa ini jelas masih sangat kurang. Karena alasan itu, Nio dan rekan-rekan melibatkan guru dan pemuda lokal untuk melanjutkan beberapa program yang sebelumnya dikerjakan selama sebulan program pertukaran pemuda. “Kami juga sudah buat grup untuk membantu atau monitoring rekan pengajar dan pemuda di sana, untuk melanjutkan kegiatan yang sebelumnya sudah dilakukan,” jelas pria ramah itu. (*/c1/wen)