KOTA, Radar Trenggalek – Organisasi perangkat daerah (OPD) lingkup Pemkab Trenggalek tak pernah merasa cukup dengan kebutuhan kendaraan dinas. Indikasinya, di sela-sela anggaran belanja dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), terus bergulir pengadaan barang, baik itu mobil atau motor dinas. Bahkan ada indikasi mementingkan (ngepenke) keinginan dibanding kebutuhan.
Asisten Perekonomian Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Trenggalek Yudi Sunarko mengaku, pengadaan kendaraan dinas selama ini belum memenuhi standarisasi operasional untuk OPD-OPD. Hal itu menyebabkan spesifikasi kebutuhan operasional dengan kendaraan dinas menjadi tidak efisien. “Kini, pengadaan mobdin/motdin semaunya sendiri, padahal sebetulnya ada standarisasi kebutuhan,” ungkapnya.
Yudi melanjutkan, standarisasi kebutuhan dalam pengadaan kendaraan dinas berkaitan langsung dengan spesifikasi kendaraan. Misalnya, jika memang pengadaan didasarkan dengan standar kebutuhan, pengadaan kendaraan nantinya akan mengacu beban kerja, kebutuhan mobilitas, dan sebagainya. “Yang menjadi acuan pengadaan kendaraan dinas selama ini adalah standarisasi keinginan, bukan kebutuhan,” ucapnya.
Tak ayal, fenomena yang ditimbulkan dari ketidaksinkronan antara pengadaan kendaraan dengan kebutuhan operasional OPD, membuat kendaraan operasional menyimpan kesan mewah. Sedangkan menanggapi fenomena itu, Yudi mengatakan, perlunya evaluasi standarisasi kebutuhan dalam pengadaan kendaraan dinas di OPD-OPD. “Kita berharap ada rasionalisasi (pengadaan mobdin/motdin, Red), agar lebih menyesuaikan dengan beban kerja, seefisien dan seminimal mungkin,” ungkapnya.
Di sisi lain, Kabid Aset Badan Keuangan Daerah (Bakeuda) Kabupaten Trenggalek Sigit Wahyuadi mengatakan, aset kendaraan dinas tercatat mencapai 2.384. Rinciannya ada 300 kendaraan roda empat, sedangkan sisanya roda dua maupun tiga. “Ini adalah aset kendaraan yang belum dihapus,” ucapnya.
Menanggapi polemik pengadaan kendaraan dinas, Sigit membenarkan, pengadaan kendaraan dinas selama ini mengacu peraturan perundang-undangan (PP) tentang pengelolaan barang negara atau daerah, peraturan menteri dalam negeri (Permendagri), maupun pertemuan daerah (perda). Namun, beberapa peraturan itu belum mengatur rinci tentang petunjuk teknis (juknis) pengadaan barang yang sesuai standarisasi kebutuhan.
Misalnya, dalam Permendagri cuma mengatur spesifikasi kendaraan roda dua hanya 200 cc, sementara roda empat untuk eselon III itu 2000 cc. Menurutnya, cc tidak dapat menjadi patokan atau menggambarkan spesifikasi barang. “Tapi yang terjadi sekarang, kita belum punya kebijakan dalam bentuk aturan (perbup, Red). Standar seperti apa penggunaan barang itu belum ada sehingga proses pengadaan barang dan jasa tak berdasarkan rencana kebutuhan barang milik daerah (RKBMD), artinya pengadaan terkesan berdasarkan selera,” jelasnya.
Sedangkan pentingnya perbup, lanjut Sigit, pengguna kendaraan dinas pada OPD A misalnya mulai dari eselon III, IV, atau staf dengan kriteria punya tugas operasional di lapangan. “Idealnya, dalam peraturan seharusnya juga mengatur bahwa kendaraan dinas tidak boleh dibawa pulang,” ujarnya.
Pihaknya pun mengaku akan mengidentifikasi permasalahan lebih lanjut berlandaskan SE Bupati Trenggalek. Identifikasi itu bermaksud untuk mengetahui OPD-OPD yang kelebihan kendaraan dinas, maka akan dihapuskan. Sebelum tahap penghapusan aset itu, dapat dengan pemindahtanganan mulai dari dihibahkan, dijual dengan skema lelang, atau dimusnahkan. “Jika kerusakan kendaraan mencapai 80 persen, maka akan dirongsokkan,” ucapnya. (tra/c1/rka)