KOTA BLITAR – Bekerja sebagai pandai besi sudah dijalani Hariyadi selama hampir 20 tahun. Warga Kelurahan Turi, Kecamatan Sukorejo itu menerima pesanan berbagai macam jenis pisau, hingga perkakas pertukangan. Usahanya juga ikut terdampak pandemi Covid-19.
Rumah sederhana itu bersebalahan dengan tempat produksi sejumlah perkakas. Tidaklah luas. Hanya berukuran sekitar 2×3 meter persegi. Disitulah Hariyadi sehari-hari menempa besi ataupun baja untuk dijadikan barang-barang bernilai ekonomi.
Usaha pandai besi itu telah ditekuninya puluhan tahun. Berawal dari kesenangan mengolah logam, kini kesenangan itu menjadi pekerjaan pokok yang menghasilkan pundi-pundi rupiah. ”Memang sejak muda itu suka dengan logam. Mencoba mengolah sendiri menjadi pisau hingga akhirnya ada teman yang tertarik dan minta dibuatkan,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya, kemarin (11/4).
Kala muda, Hariyadi juga hobi berkelana di hutan sembari berburu hewan. Salah satu perkakas yang wajib dibawa adalah pisau berburu. Untuk mendapatkannya, saat itu, dia harus membeli. Tetapi pisau yang dibeli tidak sesuai dengan harapan.
Hariyadi kurang cocok dengan pisau yang dibelinya. Hatinya tergerak untuk membuat pisau sendiri. “Setelah jadi, ternyata ada teman yang suka. Dia (teman, Red) tanya beli di mana?, lalu saya jawab ini buat sendiri,” kenangnya.
Dari situ, teman Hariyadi meminta untuk dibuatkan, sama persis. Lambat laun, usaha pandai besi Hariyadi makin didengar banyak orang. Usahanya semakin berkembang.
Meski dalam gempuran teknologi yang semakin canggih, usaha pandai besi Hariyadi tetap eksis. Proses pembuatan barang-barang pisau, pedang hingga katana, tetap menggunakan cara tradisional. ”Terkadang untuk mengasah pisau saya menggunakan mesin gerinda. Kadang juga diasah cara manual,” terangnya.
Hampir seluruh produk hasil karya Haryadi berbahan baja karbon. Dia mendapat bahan bakunya dari spare part atau onderdil bekas kendaraan terutama mobil. Bahan baku itu di antaraya berupa per mobil hingga klaker. Barang itu didapat dari bengkel-bengkel atau tukang rosok.
Seluruh tahap pembuatan pisau ataupun perkakas lainnya dikerjakan sendiri. Mulai dari nol hingga tuntas. Untuk membuat pisau misalnya. Hariyadi harus menempa dulu bahan baku berupa per mobil hingga memanjang lurus yang sebelumnya telah dipanaskan terlebih dulu.
Untuk memanaskannya, Hariyadi menggunakan media pembakaran berupa arang. Arang yang dipilih yakni dari kayu jati. Suhu panasnya mencapai 500-700 derajat celcius. “Setelah dibakar, kayu itu ditempa hingga membentuk pola pisau atau pedang yang diinginkan,” ujarnya.
Setelah pola yang diinginkan terbentuk, barulah menyepuh calon pisau dan pedang itu. Selanjutnya, diasah untuk menghasilkan mata pisau yang tajam dan kuat.
Haryadi mengerjakan pesanan sesuai permintaan pelanggan. Biasanya, pelanggan menunjukan foto model pisau atau pedang dari produk tertentu. Kemudian meminta dibuatkan mirip seperti produk aslinya. ”Tentu hasilnya tidak 100 persen sama. 75 persen. Memang yang saya buat kan duplikasinya sebagai koleksi,” terangnya.
Kebanyakan dia menerima pesanan dari komunitas pemburu hewan. Mereka memesan secara pribadi untuk dibuatkan pisau berburu dengan model tertentu. Selama ini, dia menerima pesanan dari sejumlah daerah. Di antaranya, Jakarta, Bandung, Kalimantan, hingga Sumatera. Bahkan juga sampai luar negeri seperti Tiongkok dan Malaysia.
Untuk harga bervariasi. Misalnya perkakas standar untuk pertukangan dan pertanian dibanderol mulai Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu perbuah. Sedangkan untuk pisau hias seperti duplikat katana, golok, hinga pedang, dijual mulai Rp 1 juta hingga Rp 3 juta. ”Semua harga tergantung model dan tingkat kesulitannya. Makin sulit dan besar ya makin mahal,” katanya.
Nah, saat pandemi Covid-19 menerpa, usaha pandai besi Haryadi ikut terdampak. Jumlah produksi berkurang hingga 50 persen. “Biasanya sehari bisa mengerjakan 10 pisau, kini hanya lima pisau saja. Tetapi tidak masalah. Yang penting tetap ada dan kami selalu mempertahankan kualitas,” tandasnya. (*/wen)