KABUPATEN BLITAR – Suasana duka masih menyelimuti rumah Muhamad Mustofa. Warga Desa Bangsri, Kecamatan Nglegok, itu merupakan salah seorang korban tragedi Kanjuruhan. Sabtu (1/10) lalu, putra sulung pasangan Sutrisno dan Arin Ni’matur Rosidah itu pergi nonton bola untuk kali terakhir.
Derbi Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang bakal tak mudah dilupakan Arin Ni’matur Rosidah. Pasalnya, dia harus kehilangan Muhamad Mustofa, buah hatinya. Saat ditemui Jawa Pos Radar Blitar, Senin (3/10), wanita berhijab itu tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Air matanya sesekali masih mengalir hingga pipi.
Dia menceritakan, Mustofa termasuk anak yang pendiam dan sayang kepada adiknya. Bahkan, remaja berusia 15 tahun itu sebenarnya tak terlalu suka sepak bola. Buktinya, ketika di rumah hampir tak pernah melihat pertandingan olahraga tersebut, termasuk lewat layar kaca. “Biasanya anak yang suka bola kan selalu lihat baik itu di HP, TV, atau di lapangan,” ungkap Arin.
Arin ternyata tak mengetahui anaknya berangkat ke Stadion Kanjuruhan untuk menonton pertandingan sepak bola. Terlebih pada Sabtu (1/10) siang, Mustofa hanya pamit ada acara bersama rekan-rekan alumni pondok. “Ya saya kira ada acara ngopi-ngopi begitu aja,” katanya.
Arin akhirnya mengizinkan tanpa ada rasa curiga. Nah, ternyata sebelum sampai di Malang, yakni masih di daerah Kutukan, Kecamatan Garum, Wanto Rofi’i, paman Mustofa, mengetahui keponakannya bakal berangkat menonton sepak bola. Pria tersebut lantas memberi kabar kepada Arin.
Mendapat kabar tersebut, Arin sempat tak percaya. Dia pun langsung berusaha menghubungi anaknya melalui sambungan seluler. Ternyata benar, Mustofa hendak ke Malang. Arin juga mengirim pesan singkat melalui WhatsApp. Isinya melarang Mustofa berangkat ke Malang nonton pertandingan bola. “Saya chat anaknya untuk memastikan, dan ternyata benar,” jelas wanita berusia 36 itu.
Dia mengaku, ketika melarang si buah hati menonton bola, justru dikira berpikiran negatif. Padahal, itu lantaran khawatir terjadi hal tak diinginkan. “Dia (Mustofa, Red) bilang kalau dia sudah besar dan bisa menjaga diri sendiri. Saya khawatir karena keadaan di sini (Blitar, Red) hujan deras,” ujarnya sambil mengusap air mata di pelupuk mata.
Sekitar pukul 20.00, Arin menghubungi anaknya. Dia berpesan jika pertandingan sudah selesai, diminta segera pulang. Namun, pesan yang dikirim melalui chat WhatsApp itu tidak dibaca. Saat itulah mulai kepikiran apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.
Pukul 23.00 masih belum ada kabar dari Mustofa. Pesan singkat itu tetap tak dibalas. “Saya mengirimkan pesan lagi kepadanya. Namun tidak ada respons juga,” ungkapnya.
Minggu (2/10), sekitar pukul 04.00, Wanto Rofi’I mendapat telepon dari rumah sakit (RS) Teja Husada, Malang. Yakni, Muhamad Mustofa dinyatakan meninggal dunia. Sontak kabar tersebut membuat Wanto bak tersambar petir pada siang hari. Keponakan yang dikenal baik dan penurut harus meregang nyawa.
Wanto lantas segera berangkat ke Malang bersama Arin. Setibanya di rumah sakit, ternyata jenazah Mustofa tidak ada. Sebab, sudah dipindahkan ke RS Kanjuruhan. “Saya langsung ke RS Kanjuruhan untuk memastikan. Ternyata benar. Setelah menyelesaikan administrasi, langsung membawa jenazah Mustofa kembali ke Blitar,” jelasnya.
“Saya tidak mengetahui kronologi kejadian (kerusuhan di Kanjuruhan, Red),” imbuhnya.
Tepat pukul 10.30, jenazah tiba di rumah. Sekitar pukul 12.30 dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Dayu, Kecamatan Nglegok. (*/c1/wen)