Trenggalek – Alih-alih sistem online single submission (OSS) memudahkan pengurusan perizinan secara mandiri, kini mulai menuai masalah. Khususnya, kerawanan menimbulkan tumpang tindih landasan hukum.
Dugaan tumpang tindih itu bermula dari pengamatan kalangan dewan yang menilai keberadaan toko modern berjejaring semakin menjamur di Kota Alen-Alen. “Kita melihat bahwa akhir-akhir ini muncul sangat banyak pasar modern yang berjejaring,” cetus Ketua Komisi I DPRD Trenggalek Alwi Burhanuddin.
Dalam penjelasannya, komisi I tidak menolak keberadaan pasar modern beroperasi di Trenggalek. Namun, kabupaten ini memiliki landasan hukum berupa peraturan daerah (Perda) 29/2016 yang mengatur tentang penataan dan penggunaan pasar rakyat, pusat perbelanjaan, dan toko swalayan. “Kita membuka diri sih terhadap toko modern berjejaring ini,” ucapnya.
Di perda itu, sebut Alwi, persebaran pasar modern di tiap kecamatan memiliki kuota. Di antara ketentuannya adalah memperhatikan jumlah penduduk hingga luas wilayah. “Dibatasi, tidak setiap orang mau bikin itu dapat,” imbuhnya.
Usut punya usut, komisi I menduga sistem perizinan melalui OSS rawan memicu tumpang tindih landasan hukum. “OSS itu diduga tidak tahu adanya perda itu. Karena itu, tiap pemohon yang memenuhi syarat karena toko swalayan dengan modal di bawah satu miliar itu termasuk usaha yang berisiko rendah, maka itu gampang keluar izinnya,” papar politikus dari PKS tersebut.
Sementara itu, dampak menjamurnya toko modern berjejaring akan merugikan toko-toko kecil. Alwi menjlentrehkan, misalnya toko rakyat, toko tak ber-AC, belum berbasis nota komputer atau toko tradisional lain. “Seperti semangatnya dari perda ini, supaya toko-toko rakyat kita bisa tetap eksis,” penekananya.
Komisi I mengimbau agar toko-toko modern berjejaring yang belum memenuhi syarat segera ditertibkan sebelum memasuki Januari 2023. “Belum memenuhi persyarakat, tapi sudah buka, mohon ditertibkan,” ujarnya. (tra/c1/rka)