Tulungagung – Setelah seminggu lalu ratusan kepala desa (kades) di Tulungagung geruduk Jakarta. Berganti giliran Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Tulungagung melakukan hal sama dengan tiga tuntutan. Namun hal ini menandakan tidak adanya sinkronisasi kades dan perangkatnya, padahal dalam satu undang-undang (UU). Ratusan perangkat itu menuju Jakarta, tepatnya ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk silaturahmi dengan PPDI di seluruh Indonesia. Selain itu, untuk memperjuangkan menanyakan kejelasan status perangkat desa hingga kesejahteraan perangkat desa. Mereka di Jakarta hanya satu hari, 25 Januari saja di DPR hingga ke Istana Negara, setelah itu langsung bergegas kembali Tulungagung. “Ada sekitar 697 orang perangkat desa yang berangkat ke Jakarta dengan 17 bus, tiap desa diwakilkan dua orang. Maka masih bisa memberikan pelayanan ke masyarakat. Hal ini berdasarkan surat dari pihak PPDI pusat,” ujar Ketua PPDI Tulungagung, Suyono.
Dia melanjutkan, setidaknya ada tiga tuntutan yang akan dibawa ke Silaturahmi Nasional (Silatnas) III PPDI di Jakarta. Di antaranya, meminta kejelasan terkait status kepegawaian perangkat desa. Lantaran, status kepegawaian yang diakui negara itu hanya ASN dan PPPK saja. Sedangkan perangkat desa tidak termasuk di dalamnya. Padahal perangkat desa termasuk aparatur pemerintah, yang mengelola anggaran negara serta bekerja layaknya ASN. PPDI ingin menuntut adanya tiga item dalam ASN, yakni PNS, pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dan perangkat desa. Maka pihaknya ingin ditetapkan pada item terakhir tersebut.
Selain itu, penerbitan nomor induk perangkat desa, hal ini menjadi penting bagi perangkat desa, untuk membentengi perangkat desa setelah pemilihan kepala desa (pilkades). Lantaran, biasanya setelah pilkades ada perangkat desa diberhentikan secara tidak prosedural. Maka dari itu perangkat desa membutuhkan nomor induk perangkat desa guna menjadi hal untuk mempertahankannya. Terakhir, pihaknya menuntut terkait kesejahteraan perangkat desa yang kurang diperhatinkan pemerintah pusat. Meski perangkat desa setara dengan jabatan golongan II, tetapi selama ini tidak memperhatikan masa kerjanya.
“Jadi antara perangkat desa yang sudah bekerja selama 15 tahun hingga 20 tahun lebih, itu setara dengan perangkat desa yang baru saja dilantik,” tandasnya.
Pada sisi lain, pengamat pemerintahan Tulungagung, Andreas Andre Djatmiko mengatakan, sebenarnya dengan AKD dan PPDI melakukan aksi sendiri-sendiri ke Jakarta, menjelaskan ada yang keliru di pemerintahan desa. Dalam maksud, tidak ada sinkronisasi antara kades dengan perangkat desa. “Dimungkinkan ada permasalahan, lantaran AKD dan PPDI tidak melakukan gerakan bersama. Padahal dua hal itu lokomotif dari pemerintah desa. Harusnya tuntutan ini sinkron, bahkan undang-undang yang mengatur sama UU Nomor 6 Tahun 2014,” ujar Andreas, sapaan akrabnya. Terkait dengan tuntutan, terutama bagi PPDI yakni kesejahteraan pegawai atau tunjangan dan itu memang perlu diperhatikan, apalagi perangkat desa ini bekerja bisa sampai 24 jam. Namun bagaimana realisasinya, kinerjanya sudah maksimal atau belum yang dilakukan perangkat desa. Hal itu yang bisa menjawab hanya masyarakat, mereka akan puas bila pelayanan diberikan juga baik. Perihal status kepegawaian, menurut dia, untuk menjadi ASN ada syarat-syarat harus ditempuh. Bila mereka ingin disamakan statusnya seperti ASN, pemerintah harus mengeluarkan aturan pengangkatan tersebut. Apalagi menjadi ASN tunjangannya berbeda dari perangkat desa saat ini, sehingga dimungkinkan menambah semangat kinerjanya. “Saya lebih setuju kalau ada semacam tahap-tahap objektif dilalui. Karena perangkat harus diuji kemampuannya dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, karena langsung berbenturan dengan masyarakat. Maka ada rasa kerja kerasnya,” pungkasnya.(jar/din)