TULUNGAGUNG – Pelaku pembunuhan ternyata mengalami pikiran yang impulsif atau cepat bertindak. Bahkan, ada juga yang pernah mengalami kejadian sehingga memicu tindakan keji. Hal itu pula yang dimungkinkan terjadi pada pelaku pembunuhan terhadap Afifta Kharismaningrum (AK), warga Desa Junjung, Kecamatan Sumbergempol, Senin (19/12) lalu.
Diduga, pelaku pembunuhan itu tidak dalam alasan tunggal, meskipun telah terencana dan memiliki pikiran impulsif atau bertindak tanpa berpikir. Orang yang melakukan itu pasti emosinya tidak terkontrol, hingga ada hal-hal yang mendorong untuk melakukan pembunuhan. Tentu ada penyebabnya, dimungkinkan dia pernah menjadi korban juga di masa lalunya.
“Pelaku pembunuhan juga pernah mengalami peristiwa berat di fasenya. Misalnya pernah mengalami kekerasan, hingga ada emosi kemarahan dan frustasi. Lalu, pelaku terpicu dengan peristiwa tertentu dengan korban sehingga tega melakukan tindakan keji itu,” ujar Psikolog Tulungagung, Ifada Nur Rohmania, yang ditemui di kantornya kemarin (21/12).
Menurut dia, pelaku pembunuhan disebabkan karena pernah menerima penolakan atau mengalami kecemburuan social. Bahkan, pelaku bisa saja pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual sehingga merusakan otaknya dan mengacak emosinya. Maka, kumpulan sakit hati itu berbahaya, apalagi jika seseorang tidak bisa mengendalikan emosinya.
Dia menjelaskan, jika seseorang mengalami tekanan hidup, maka kondisi otak juga akan berubah. Bahkan, hal itu hingga membuat beberapa saraf pada otaknya mengecil dan kondisi pikirannya abu-abu. Apalagi, jika hingga menimbulkan kemarahan tidak terkendali tentu akan mengakibatkan tindakan kekerasan dan pelecehan kepada orang lain.
Tindakan pembunuhan juga dapat dipengaruhi gangguan persepsi. Dengan melakukan perilaku itu, pelaku merasa tidak ada hambatan dalam hidupnya. Maka, membunuh seseorang merupakan tujuan agar hidupnya tidak mendapatkan gangguan dari orang lain.
“Pelaku pembunuhan tidak secara tiba-tiba melakukan tindakannya. Sebenarnya sudah ada suatu penyebab yang belum diketahui. Apalagi bila orang tersebut mengalami mental illness atau gangguan mental, terkadang sulit terdeteksi. Lebih parah lagi bila pelaku dalam pengaruh zat adiktif,” terangnya.
Dari analisisnya, ketika pelaku memasuki rumah korban dengan melewati atas rumah hingga genting terlepas dan menuju kamar mandi, itu bisa saja pengaruh dari menonton film. Jadi, pelaku akan mengonstruksi dan memanipulasi. Maka dari itu, skenarionya terkesan rapi.
Parah lagi bila pelaku pembunuhan bayaran, pasti jelas profesional dan telah mempelajari cara untuk menghilangkan jejak. Selain itu, dia juga tentu telah mempelajari langkah-langkah polisi untuk melacaknya.
Namun, jika seseorang masih menerima cinta dan kasih sayang dari orang lain tentu terhindar dari tindakan yang melukai orang lain. Dia tidak bisa menyakiti orang lain dan orang yang menyakiti pasti kondisi jiwanya sedang tidak baik-baik.
“Sedangkan untuk korban yang terkesan tertutup dari keluarga atau orang luar, bisa saja korban dipengaruhi konflik dari pertemanan di dunia virtual atau sosial media (sosmed). Lantaran teman virtual rawan kekerasan hingga pelecehan,” pungkasnya.(jar/c1/din)