BOYOLANGU, Radar Tulungagung – Papan peringatan putih berisi imbauan dari Pemerintah Desa (Pemdes) Beji, Kecamatan Boyolangu, yang meminta agar pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Dewi Sri segera mengosongkan kantornya, hingga kini masih belum bergeser. Papan tersebut telah terpasang sejak 10 Juni lalu.
Pemasangan papan tersebut lantaran kantor KUD Dewi Sri berdiri di atas tanah yang kini masih menjadi polemik kepemilikan antara Pemdes Beji dan pengurus KUD Dewi Sri. Dalam papan imbauan itu juga, pihak pemdes memberikan waktu 1 bulan bagi pengurus koperasi untuk mengosongkan kantornya. Namun, hingga kini papan imbauan itu masih terpasang.
“Kami sangat menyayangkan pemasangan papan imbauan dari Pemdes Beji di depan kantor KUD Dewi Sri. Namun, kami juga tidak bisa berbuat banyak, karena papan imbauan tersebut sudah terlanjur dipasang,” tutur Ketua KUD Dewi Sri, Soebianto.
Dia memilih untuk tidak melepas papan imbauan tersebut dengan alasan menghindari adanya tindakan yang tidak diinginkan. Namun, pihaknya mengakui bila dulunya tanah yang dipakai KUD Dewi Sri adalah tanah kas Desa Beji. Selain itu, berdasarkan de facto, tanah kas desa tersebut juga telah ditukarkan dengan tanah yang dibeli oleh pihak koperasi untuk dikelola Pemdes Beji.
Dia menjelaskan, alasannya tidak melepas aset tersebut karena sudah mendapatkan surat keterangan dari tiga Kepala Desa Beji terdahulu. Dengan keterangan, bahwa tanah yang ditempati KUD Dewi Sri yang semula tanah kas desa itu telah benar-benar diganti dengan dua bidang tanah. Lalu, tanah penggantinya sudah diserahkan kepada Pemdes Beji.
Hal lain yang menguatkan Soebianto mempertahankan tanah itu, karena pihaknya telah menempati bangunan KUD Dewi Sri tersebut selama 47 tahun. Selain itu, selama ini pihaknya selalu membayar PBB kepada Pemkab Tulungagung.
“Kami memiliki beberapa berkas. Yakni, dua surat akta jual beli (AJB) tanah milik KUD Dewi Sri, dua kutipan surat perjanjian jual beli tanah dari pengurus terdahulu, surat pembayaran PBB, dan tiga surat keterangan tiga Kepala Desa Beji tentang penggantian tanah kas desa yang kami tempati,” jelasnya.
Menurut dia, meskipun rapat anggota tahunan (RAT) KUD Dewi Sri terakhir dilaksanakan pada 1995 silam, tapi saat ini KUD Dewi Sri masih aktif melakukan kegiatan unit usaha. Di antaranya, transaksi pembayaran listrik dan penyewaan toko. Bahkan, kini pendapatan kotor tiap tahun berkisar Rp 60 juta, yang digunakan untuk menggaji karyawan, operasional kantor, dan membayar petugas kebersihan.
Dia juga menceritakan bila dulu anggota KUD Dewi Sri mencapai 2.000 orang yang berasal dari petani di Kecamatan Boyolangu dan Tulungagung. Namun, kini keanggotaan aktif nyaris tidak ada, karena banyak anggota yang sudah meninggal dunia dan memang perlu dilakukan inventarisasi anggota kembali dan reorganisasi.
Laki-laki berumur 68 itu berharap adanya mediasi yang melibatkan Pemkab Tulungagung terkait kepemilikan aset tanah yang kini menjadi polemik antara KUD Dewi Sri dan Pemdes Beji. Melalui mediasi yang dilakukan, maka dapat dipastikan status kepemilikan tanah tersebut.
“Kami masih belum memikirkan sampai masuk ke ranah hukum. Namun, jika dari pihak desa ingin membawa ke ranah hukum, kami siap dengan data yang kami miliki,” terangnya.
Kepala Desa Beji, Khoirudin mengatakan masih ingin meminta secara kekeluargaan kepada KUD Dewi Sri untuk menyerahkan tanah kas desa tersebut. Namun, apabila secara kekeluargaan tidak berhasil, maka pihaknya akan menempuh jalur hukum. “Tetapi menurut kami, yang seharusnya menempuh jalur hukum adalah KUD Dewi Sri,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga sudah memberikan waktu kepada KUD Dewi Sri untuk segera mengosongkan kantor yang kini masih dioperasikan. Meskipun hingga kini waktu yang telah diberikan untuk mengosongkan kantor telah melebihi batas.
KUD Dewi Sri telah menempati tanah kas Desa Beji dan pihak desa menyediakan tanah tersebut sejak tahun 1975. Pasalnya, kini sedang terjadi polemik atas kepemilikan tanah tersebut. Berdasakan data yang dimilikinya, tanah tersebut masih masuk dalam tanah kas Desa Beji.
“Memang dulu itu ada aturan bahwa pemdes harus menyediakan tanah kas desa untuk operasional KUD pada era orde baru. Namun, karena kini KUD Dewi Sri sudah vakum dan lama tidak melakukan RAT, maka kami meminta tanah kas desa untuk dikembalikan,” kata Khoirudin.
Bahkan, kini sebagian bangunan yang ditempati KUD disewakan kepada pihak swasta untuk usaha lain. Padahal, aktivitas KUD Dewi Sri yang menyewakan toko kepada pihak lain itu sudah menyalahi aturan. Pasalnya, ketika melakukan penyewaan tanah kas desa kepada pihak lain itu harus ada koordinasi dengan pemdes. Bahkan, jika kami memperkirakan kerugian desa bisa mencapai miliaran rupiah.
“Kami akan lakukan musyawarah desa, mengingat saat ini KUD Dewi Sri masih menempati kantor yang berdiri di atas tanah kas desa. Karena selama ini kami tidak tau ke mana uang tersebut,” ungkapnya.
Dia menambahkan, bahwa pihaknya tidak pernah diajak koordinasi perihal keuangan hasil sewa tanah kas desa. Melihat bahwa harga sewa toko pada sekitar wilayah tersebut bisa mencapai Rp 100 juta per tahun.(jar/c1/din)