Sementara itu, fenomena VCS yang merebak di kalangan remaja seolah jadi sandungan untuk membentuk generasi muda berbudi pekerti luhur. Sebab, tren negatif ini menimbulkan efek domino. Misalnya, remaja tak lagi memiliki rasa malu, enggan menghargai orang lain, serta berpotensi terjerumus ke dunia prostitusi.
Anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Blitar Suswati menyebut, ini merupakan dampak negatif bersosial media (sosmed). Situs-situs dewasa yang belum sepenuhnya terfilter, bisa dengan mudah diakses oleh anak atupun remaja. Alhasil, ini dimanfaatkan oknum tak bertanggung jawab untuk mencari korban. Terutama remaja pubertas.
“Itu mengapa, banyak tayangan di televisi, ponsel yang menampilkan pentingnya cerdas dalam bermain sosmed. Bukan anaknya saja yang cerdas, tetapi juga orang tua,” ujarnya kemari (19/12).
Masuknya budaya asing melalui jejaring sosial memang tak bisa sepenuhnya ditahan. Dalam kondisi saat ini, terang dia, antisipasi adalah kiat jitu menepis hal negatif, seperti VCS. Tindakan pencegahan ini tak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun harus melibatkan sektor keagaman, peran orang tua, guru, hingga pemerhati anak.
Politisi dari fraksi Golkar ini menambahkan, pendidikan moral jadi modal utama agar anak lebih teredukasi menghadapi pengaruh era digital. Utamanya, menjauhi pergaulan bebas hingga memicu VCS. Sebab, apabila kaum remaja sudah terbiasa melakukan kebiasaan itu, bakal berdampak pada masa depan bangsa. Pemberian edukasi moral ini harus ditanamkan sejak usia dini.
“Pendidikan moral itu poin mutlak. Tak bisa ditawar. Ini memang beban yang harus dikerjakan bersama. Meski orang tua sosok terdekat, tapi guru punya peran penting,” terangnya.
Untuk orang tua, pihaknya mengimbau agar terus memantau pola pergaulan anak. Selain itu, juga memberikan edukasi pentingnya menjaga organ seksual. Itu untuk melindungi dari predator seks di medsos. Sebab, pelecehan seksual era sekarang tak hanya bisa dilakukan secara kontak langsung, namun juga melalui teknologi.
Dia meminta, pemerintah, dalam hal ini Diskominfo Kabupaten Blitar turut serta melakukan upaya strategis. Yakni, menyaring konten-konten dewasa agar tak bisa diakses oleh remaja di bawah umur. Sebab, anak yang terbiasa menyaksikan tayangan dewasa bakal memengaruhi mental. Parahnya, pembelajaran di sekolah menjadi terganggu.
“Di tengah gempuran tren buruk ini, semua sektor harus menambah muatan budi pekerti. Baik di rumah, atau di sekolah. Karena remaja memang rasa ingin tahu besar. Remaja perlu diberi pemahaman,” tandasnya. (luk/wen)