TULUNGAGUNG – Kebiasaan menyontek pada siswa ternyata dapat menyebabkan efek boomerang pada masa depannya. Bagaimana tidak, kebiasaan menyontek tersebut mengakibatkan siswa memiliki karakter tidak bertanggung jawab, cenderung mengandalkan orang lain, dan tidak dapat menggali potensi diri.
Psikolog Tulungagung, Nuzulunni’mah mengatakan, menyontek dalam psikologi dikenal dengan istilah cheating. Menyontek dalam dunia pendidikan sudah menjadi iklim yang dibiasakan. Hal tersebut dapat memengaruhi perkembangan psikologis siswa ke depannya. “Efeknya, anak tersebut lebih mengandalkan orang lain dan ketika mendapatkan masalah cenderung plinplan dalam menentukan tindakan,” jelasnya kemarin (1/8).
Lanjut dia, banyak faktor yang melandasi kebiasaan menyontek oleh sebagian siswa. Salah satunya yakni faktor percaya diri yang kurang. Kurangnya rasa percaya diri pada siswa tersebut dapat digali lebih dalam untuk mengetahui penyebabnya sehingga memilih untuk menyontek. “Kurang percaya dirinya ini misal dari pola asuh orang tua yang acuh dan cenderung membiarkan anaknya mau belajar atau tidak,” paparnya.
Selain itu juga terdapat faktor lain yakni ketidaksiapan siswa untuk mengerjakan soal. Akibatnya, siswa memilih untuk menyontek karena merasa tidak bisa mengerjakan soal tersebut.
Menurut dia, berbeda jika siswa tersebut percaya diri. Meskipun tidak belajar, siswa yang percaya diri lebih cenderung siap untuk mengerjakan soal. “Kesiapan belajar pun juga akan terpengaruh oleh rasa percaya dirinya. Meskipun siswa itu belajar tapi rasa percaya dirinya kurang, pasti menyontek. Itu karena siswa tersebut merasa tidak yakin dengan jawabannya,” ucapnya.
Dia mengaku fenomena menyontek pada siswa sebenarnya bisa dilihat dari karakteristik siswa tersebut. Jika penanaman nilai kepada siswa kurang, maka bisa menyebabkan karakter-karakter siswa berbeda. “Misalnya, orientasi nilai itu penting dan ilmu itu tidak penting. Jadi, lebih penting nilai bagus dibandingkan memahami pembelajaran. Dari situ bisa membentuk karakter siswa agar mendapatkan nilai yang bagus dengan cara apa pun. Salah satunya yakni menyontek ke siswa lain yang dianggap lebih pintar,” ungkapnya.
Lebih lanjut, hal itu akan lebih parah jika orientasi nilai tersebut timbul dari pola asuh orang tua. Misalnya, orang tua lebih mengapresiasi anaknya jika mendapatkan nilai bagus daripada memahami pembelajaran. Orientasi tersebut dapat merubah karakter siswa. “Perubahan karakter itu pasti akan memengaruhi pola pikir siswa. Jadi akan cenderung menyepelekan dan akan menjadi kebiasaan. Apalagi jika circle pertemanannya seperti itu,” ucapnya.
Dia menambahkan, adanya fenomena siswa yang menyontek cenderung mendapatkan nilai yang lebih bagus dibandingkan siswa yang tidak menyontek. Fenomena tersebut justru membuat siswa lebih tertarik untuk membuat contekan daripada percaya diri dengan apa yang siswa tersebut pahami dari pembelajaran. “Loh ini sisi yang sangat memprihatinkan dari siswa. Siswa memilih percaya diri untuk mengerjakan soal tersebut sesuai dengan pemahamannya, tapi kenyataannya nilai yang didapat lebih jelek dibandingkan siswa yang menyontek,” paparnya.
Kebiasaan menyontek tersebut sangat memengaruhi perkembangan psikologi anak ke depannya. Kebiasaan tersebut dapat menjadikan kurangnya rasa bertanggung jawab, tetap mengandalkan orang lain, dan tidak mengetahui kompetensi yang dimiliki. “Kalau untuk mengurangi kebiasaan menyontek itu bisa dilakukan dengan memperbaiki faktor internal siswa. Seperti penguatan diri dari konsep diri siswa, dari emosi siswa, dari manajemen waktu. Itu bisa dilakukan untuk anak usia pendidikan SMA atau perkuliahan. Namun, kalau untuk anak jenjang pendidikan SD atau SMP itu tergantung kepada pola asuh orang tua yang tidak hanya berorientasi pada nilai semata,” tutupnya. (mg2/c1/din)