TULUNGAGUNG – Pendiri Masjid Tiban atau Masjid Istimror, Mbah Ageng Withono, memiliki keistimewaan tersendiri semasa hidup. Namun sayang, peninggalannya sangat minim yaitu hanya tinggal sumur tua yang berada di selatan masjid.
Juru Pelihara Masjid Masjid Tiban, Murrodi Munif mengatakan, sumur tua peninggalan Mbah Ageng Withono masih dimanfaatkan hingga sekarang untuk bersuci. Bahkan, tidak sedikit orang memanfaatkan sumur tersebut sebagai sarana menyembuhkan penyakit serta dijadikan tempat bersuci atau berwudu.
Dia bercerita, dalam penyebaran Islam di tanah Kauman, Mbah Ageng Withono memiliki jumlah santri yang terbilang lumayan. Dia bersama santrinya bercocok tanam serta mencari ikan di aliran sungai Kali Song untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Bahkan karena sering memanfaatkan Kali Song, terdapat sebuah kedung (lokasi air sungai yang dalam, Red) yang dinamakan Kedung Santri, karena saking seringnya kedung tersebut dimanfaatkan oleh santri-santri Mbah Ageng Withono untuk mandi atau menyucikan diri,” ujarnya.
“Namun, lokasi Kedung Santri tersebut belum dapat dipastikan tepatnya di Kali Song sebelah mana, bahkan masih ada atau sudah hilang juga masih tabu,” katanya.
Dia mengatakan, Mbah Ageng Withono juga hidup semasa dengan Syekh Basyaruddin dan Bupati Tulungagung pertama, Raden Ngabei Mangundirono yang makamnya berada di Dusun Srigading, Desa Bolorejo. “Para aulia tersebut memiliki karamah tersendiri pada zaman mereka hidup,” katanya.
Dia melanjutkan, ada sebuah kisah saat Tumenggung Ngabei Mangundirono mempunyai hajat menikahkan anaknya. Syekh Basyaruddin membuatkan dekorasi plengkung dari air yang mengalir tanpa ada penyangga atau saluran airnya. Tak mau kalah, selanjutnya Mbah Ageng Withono dengan karamahnya memberi ikan pada hiasan air yang sudah dibuat oleh Syekh Basyaruddin.
Tak berhenti sampai di situ, dalam upaya syiar Islam, Mbah Ageng Withono juga pernah menjajaki tanah Wilis untuk menyebarkan ajaran Islam. Namun, syiar yang dilakukan di tanah Wilis tak semudah yang dibayangkan, banyak tantangan bahkan juga dimusuhi warga Wilis karena penyebaran Islam yang dilakukan waktu itu. Sedangkan untuk mempermudah dan mempercepat beliau kembali ke Kauman saat dimusuhi tersebut, Mbah Ageng Withono berjalan di atas pepohonan layaknya orang terbang agar lebih cepat sampai Kauman. (mg1/c1/din)