TRENGGALEK – Masih ingatkah dengan sosok Edi Wibiyono, guru tidak tetap (GTT) kategori II (K-2) tertua dari Trenggalek. Ya, kendati usianya sudah tidak muda lagi, saat ini dia terus mengabdi sebagai GTT. Dari situ, hampir setiap hari dia mengendarai besi tuanya dari rumah yang berada di Desa/Kecamatan Suruh ke tempatnya mengajar, SDN 5 Jombok, Kecamatan Pule.
Istilah yang mengatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, memang benar adanya. Seperti halnya dilakukan oleh Edi Wibiyono. Pasalnya, bisa dikatakan dia salah satu orang yang telah berjasa bagi negara, meski belum sepenuhnya memperoleh pengakuan dari negara. Baik berupa tunjangan, bintang jasa, sertifikat tanda pengakuan, dana pensiun, atau yang lainnya.
Hal tersebut lantaran hingga saat ini dia tetap mengabdi sebagai guru honorer. Kendati demikian, dia tetap mengabdikan untuk mendidik dan mengajarkan muridnya berbagai ilmu pengetahuan. “Saya bekerja sebagai guru sejak 2002 lalu, tentunya dengan honorarium masih jauh di bawah upah minimum kabupaten (UMK). Kendati demikian, saya selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi panutan dan mempersiapkan yang terbaik untuk para murid,” ungkap Edi Wibiyono kepada koran ini, setelah mengajar di SDN 5 Jombok, Pule.
Apalagi, impiannya untuk beralih status menjadi aparatur sipil negara (ASN) pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) guru telah sirna. Itu terjadi lantaran namanya telah diblokir oleh sistem ketika membuat akun untuk proses pendaftaran menjadi ASN. Sebab, usianya ketika membuat akun sudah 59 tahun lebih 1 bulan 4 hari. Karena itu, dia tidak bisa memenuhi persyaratan administrasi dalam segi umur, mengingat dalam aturannya usia maksimal ketika mendaftar adalah minimal 20 tahun dan maksimal 59 tahun. “Mengetahui hal tersebut, sebenarnya saya sempat frustasi, karena impian yang telah mengabdi selama 20 tahun sirna karena terkendala usia,” katanya.
Frustasi yang dirasakan bukannya tanpa alasan. Sebab, sebelum membuat akun tersebut, dia juga mengikuti proses pendataan yang telah dilaksanakan. Dia harus mondar-mandir beberapa hari dari rumah, sekolah tempatnya mengajar, dan kantor dinas pendidikan, pemuda, dan olahraga (disdikpora) untuk memenuhi persyaratan pendataan tersebut. Karena itu, ketika akan membuat akun tetapi tidak bisa, saat itu seakan dunia menjadi runtuh.
Saat itu Edi seperti gelap mata dan berniat membakar seluruh berkas yang didapat untuk proses pendaftaran tersebut, seperti ijazah, hingga surat keterangan (SK) yang didapat. Namun, untung saja hal tersebut urung dilakukan karena ada istri dan anaknya yang menguatkan hatinya. Dari situ, kendati bisa dikatakan gagal menjadi guru P3K, tetapi saat ini dirinya bertekad menjadi guru hingga purna. Selain itu, saat itu dia membagi waktu untuk membuka usaha lain guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. Itu dilakukan dengan membuka warung untuk berjualan es kelapa muda dan makanan lainnya. “Jadi, sepulang mengajar, saya langsung membuka warung sambil membuat pesanan jika ada. Inilah yang bisa saya lakukan, sebab harapan untuk diangkat dan mendapatkan pensiun sudah tidak ada lagi,” jelas pria yang mengawali menjadi guru di SDN 3 Joho, Pule ini.(*/c1/rka)