TRENGGALEK – Permasalahan makam di Dusun Kemiri, Kelurahan Kelutan, Kecamatan Trenggalek, tampaknya hanya bisa diselesaikan lewat meja hijau. Pasalnya, ada berbagai persepsi dari segi hukum mengenai peristiwa yang telah terjadi lebih dari tiga bulan lalu ini. Seperti yang disampaikan salah satu praktisi hukum di Trenggalek, Ibnu Maulana Zahida.
Menurut dia, pernyataan pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Kantor Wilayah (Kanwil) Jawa Timur (Jatim) yang beberapa waktu lalu datang ke Trenggalek, sepertinya kurang tepat. Padahal, mereka bermaksud sebagai penengah akan persoalan yang terjadi. Sebab, saat itu pihak Kemenkumham justru beranggapan bahwa warga yang memprotes adanya makam tanpa izin tersebut sebagai bentuk pelanggaran HAM. Alasannya, lantaran lokasi yang digunakan makam tersebut merupakan milik pribadi. Karena itu, hal tersebut perlu disikapi oleh seluruh stakeholder yang ada di Trenggalek, dengan mendudukkan ulang perkaranya agar tidak melebar. ”Memprotes atau menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam pasal 28 Undang?Undang Dasar 1945 dan pasal 9 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Karena itu, seharusnya menyampaikan pendapat berupa penolakan terhadap makam tanpa izin bukan pelanggaran HAM, dengan syarat warga tidak melakukan perbuatan yang anarkis, seperti merusak makam atau memindahkan sendiri tempat makam tersebut,” katanya.
Dia melanjutkan, setelah dilakukan penelitian terkait peristiwa tersebut, yang menjadi bingung adalah sikap Pemkab Trenggalek yang selama ini memberikan penyelesaian masalah secara musyawarah. Sebab, jika dikaji secara mendalam, perkara penggunaan lahan untuk makam tanpa disertai izin termasuk perkara pidana. Dari situ, tidak seharusnya diselesaikan secara musyawarah. Ketentuan tersebut tertuang pada pasal 70 Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang mengubah ketentuan UU Penataan Ruang. Dari situ, dijelaskan bahwa setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang mengakibatkan fungsi ruang, diancam pidana penjara paling lama tiga tahun. ”Namun, dalam hal ini harus dilihat mens rea (sikap batin)-nya agar dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Itu seperti apakah ahli waris yang memakamkan di sana punya niat jahat atau tidak, dengan sengaja atau tidak, juga ada penghapus pidana atau tidak,” katanya.
Sebab, dalam proses pemakaman tersebut ada kemungkinan ahli waris ingin penghapus pidana. Itu seperti alasan pembenaran atau keadaan memaksa, berupa kondisi seseorang melakukan tindak pidana karena dalam keadaan yang benar-benar terpaksa. Keadaan terpaksa tersebut, bisa disebabkan keadaan dari luar yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan melawan hukum sehingga perbuatannya tidak dapat dihukum. Selain itu, ahli waris yang baru ditinggalkan orang tuanya tersebut tidak mendapatkan tempat pemakaman di Trenggalek. Namun, dalam hal ini perlu dibuktikan di pengadilan, sebab yang bisa menilai ada alasan penghapus pidana tersebut adalah hakim.
Untuk itu, sekiranya polisi bergerak cepat terkait peristiwa tersebut. Sebab, hal ini bukan delik aduan, artinya tanpa laporan dari masyarakat bisa diproses, mengingat peristiwa tersebut sudah menjadi perhatian masyarakat. Dari situ, sekiranya perlu dibentuk tim khusus guna proses penyelidikan. Apalagi, berdasarkan Pasal 73 ayat 1 UU Penataan Ruang yang tidak diubah ke dalam UU Cipta Kerja terdapat ancaman pidana maksimal lima tahun penjara bagi setiap orang dan pejabat-pejabat yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang namun tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
”Perbuatan menerbitkan izin tidak hanya dimaknai menerbitkan surat saja. Sebab, hal itu juga dapat dilihat perbuatan pejabat yang berwenang sudah mengetahui adanya pelanggaran penataan ruang, tetapi dia hanya membiarkan saja. Karena itu, bagi saya, lebih baik biar penegak hukum yang meneliti lebih lanjut mengenai itu,” jelas magister hukum dari Unair tersebut (jaz/c1/rka)