TULUNGAGUNG – Tutuk emping masih digunakan sebagian masyarakat sebagai salah satu teknik memproduksi olahan opak emping. Bahkan tak mau pindah ke alat produksi modern. Pengolahan secara tradisional dipertahankan bertujuan untuk menjaga keaslian emping yang diturunkan oleh generasi sebelumnya.
Tidak terlalu besar jika digambarkan, hanya ruangan kecil yang digunakan untuk memproduksi opak emping oleh Muzamil dan istrinya. Mereka adalah pasangan suami istri (pasutri) asal Desa Serut, Kecamatan Boyolangu, yang setiap harinya mengolah biji melinjo atau disebut klatak untuk dijadikan opak emping.
Menurut sejarah, lanjut Muzamil menceritakan keadaan dulu di area sekitar rumahnya, Desa Serut bisa dibilang sentra pembuat opak emping. Karena, jumlah keluarga yang menggantungkan ekonominya dengan membuat opak yang identik dengan rasa sedikit pahitnya ini bisa dibilang banyak.
Mirisnya, sejarah itu hanya tinggal cerita, karena kini hanya tersisa sekitar empat tempat saja yang tetap istiqamah memproduksi opak emping, sedangkan yang lainnya seperti lenyap ditelan zaman. Salah satu yang tersisa adalah Muzamil atau akrab dipanggil Pak Jamil.
Lebih dari seperempat abad yang lalu atau tepatnya tahun 1993, Jamil memulai usaha opak emping. Dia mengaku karena memang diturunkan dari keluarga dengan keahliannya membuat emping ini. “Orang tua saya pembuat emping juga,” katanya memulai percakapan.
Dengan menggunakan kaus singlet berwarna putih yang saat itu dipakai, dia mengungkapkan, dewasa ini apalagi saat pukulan pandemi, usaha opak empingnya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Pesanan sepi ditambah dengan mencari bahan baku yaitu biji melinjo yang susah. Pasalnya, Jamil harus mendatangkan biji Melinjo dari daerah di luar Tulungagung yaitu dari Trenggalek dan Kediri. Padahal, produksi empingnya membutuhkan bahan baku klatak sebanyak 8 kilogram (kg) dalam sehari.
“Di Tulungagung seperti sudah jarang pohon melinjo, jadi untuk mencari stok bahan membuat opak emping ini harus mendatangkan dari luar,” katanya.
Dia melanjutkan, produksi 8 kg sehari sudah bisa dikatakan baik, mengingat dirinya masih menggunakan cara tradisional dalam proses produksinya. Biasa disebut dengan tutuk emping, atau digeprek dengan alat semacam palu. Tujuannya adalah membuat tekstur dari biji melinjo agar tipis layaknya kerupuk.
Proses pembuatannya, lanjut dia, biji melinjo harus digoreng terlebih dahulu, tidak menggunakan minyak namun digoreng menggunakan pasir. Selanjutnya, biji melinjo dipisahkan dengan kulitnya lantas ditutuk atau digeprek sampai gepeng. Setelah membentuk tipis, kemudian dijemur di panasnya terik matahari.
“Menggunakan cara yang masih tradisional karena untuk menjaga kualitas rasa dan emping agar bisa mengembang ketika digoreng,” katanya.
Dia mengakui, pernah juga mendapat tawaran untuk menggunakan alat-alat modern dalam proses produksinya. Namun ketika dicoba malah tidak maksimal dalam hasil. Menurutnya, ketika menggunakan alat modern itu terksturnya terlalu tipis dan ketika digoreng tidak mampu mengembang dengan maksimal.
“Meskipun lebih cepat jika dihitung dengan waktu yang dibutuhkan untuk produksi, namun karena pertimbangan yang ada saya memilih menggunakan cara yang lama,” tuturnya.
Untuk pemasaran, dia mengatakan bahwa melayani pasar di Tulungagung maupun di luar Tulungagung. Meskipun tidak banyak, tetap ada pencinta emping yang dengan konsisten memesan padanya. Angin segar muncul juga pada saat Ramadan kali ini, karena pesanan yang datang kepadanya meningkat dibandingkan biasanya.
“Namun karena keterbatasan tenaga kerja, produksinya tidak maksimal. Tapi memang diakui saat Ramadan ini pesanan meningkat. Baik untuk camilan ataupun untuk nanti saat Hari Raya Idul Fitri,” katanya.
Pesanan pun datang dengan ukuran yang berbeda-beda tergantung pesanan. Biasanya satu opak emping dibuat dengan 10-20 biji melinjo tergantung pesanan yang diinginkan. Serta besar kecil ukuran itulah juga yang nantinya memengaruhi harga ketika dijual. (*/c1/din)