BLITAR – Tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa gerakan feminisme adalah gerakan yang mengerikan, perempuan yang jahanam, perempuan barat, perempuan yang tidak religius, dan sebagainya.
Mengingat, karena kali pertama munculnya gerakan ini memanglah dari barat. Maka dari itu, banyak kontra yang terjadi apalagi saat gerakan ini baru memasuki wilayah Indonesia, karena kita tahu mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim dan ajaran feminisme awalnya dipandang bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Sebelum mengarah pada pro dan kontranya, kita harus paham terlebih dulu mengenai posisi dan makna dari feminismee yang sebenarnya. Feminismee adalah sebuah posisi politis, feminisme tidak ada hubungannya sama sekali dengan atribut biologis, jadi dapat disimpulkan bahwa seorang feminis itu bisa perempuan atau laki-laki.
Mengapa? Karena tujuan yang digemborkan selama ini adalah untuk mendapatkan kesetaraan gender.
Nah, pengertian gender inilah yang menjadi poin penting dan perlu digarisbawahi. Gender, adalah sebuah hal yang jauh lebih kompleks daripada hanya sekadar “Perempuan itu Feminim dan laki-laki itu Maskulin”, gender lebih mengacu pada karakteristik seseorang yang dibentuk oleh lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh, alias bersifat kultural. Jadi, gender berbeda dengan atribut biologis.
Gerakan feminismee mempunyai tiga jenis/gelombang yang umum dikenal masyarakat luas. Feminisme yang liberal, radikal, dan post-modern. Tapi, yang perlu dipahami di sini adalah tiga gelombang feminisme terilustrasi tidak linear, melainkan sirkular atau membentuk sebuah sirkulasi yang saling berhubungan dan dapat terjadi pada ruang yang sama.
Ya, kita liberal karena kita ingin sekolah dan ingin ada kesamaan di depan hukum. Ya, kita radikal karena kita bicara tentang hak-hak reproduksi.
Pada saat yang sama, kita juga post-modern karena kita berbicara tentang tidak ada yang salah menjadi seorang perempuan yang mempercantik dirinya dengan berdandan. Namun pada the grandmother of feminisme atau feminismee yang terdahulu, mereka menghindari berdandan karena dengan dandan menjadi feminim pada waktu itu akan ditandai sebagai kelemahan.
Maka dari itu, post-modern akhirnya mereklame adanya hak untuk tidak seperti the grandmother of feminisme.
Dalam satu aliran feminismee, ada banyak pemikiran yang berbeda. Contoh, dalam konteks feminisme radikal, di satu aliran berpikiran bahwa reproduksi perempuan itu adalah kekuatan perempuan yang artinya jangan sampai dialihkan ke tempat yang lain.
Namun, pada pemikiran yang berbeda lagi berpikir bahwa reproduksi perempuan itu adalah kelemahan perempuan karena perempuan hamil lalu jadi ibu maka dia akan susah gerak. Padahal, dua pemikiran yang bertolak belakang ini terjadi pada aliran yang sama.
Namun yang menarik adalah, biar saja bertengkar atau terus ada pro dan kontra karena bertengkar menjadi penting supaya teori tetap hidup, kalau kita tidak bertengkar maka tidak akan ada lagi teori yang hidup dalam konteks feminisme ini.
Maka dari itu, saya Anggun Elsa Mayanti sebagai Puteri Pemberdayaan Perempuan Indonesia menyimpulkan bahwa gerakan sosial feminisme harus tetap ada dan terus dikampanyekan.
Lalu, kapan feminisme berakhir? Gerakan feminisme akan berakhir saat tidak ada lagi isu kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi, karena saat ini kasus kekerasan atau pelecehan seksual masih sangat memprihatinkan.(*)