KABUPATEN BLITAR – Keinginan dinas pertanian dan pangan (dispertapan) agar petani beralih menggunakan pupuk organik tak semudah mengedipkan mata. Indikasinya, petani belum bisa move on dari pupuk kimia.
Ketua Kelompok Tani (Poktan) asal Desa Sumberagung, Kecamatan Gandusari, Kaderi menyatakan, ada beberapa faktor yang memicu petani tidak bisa langsung pindah dari pupuk kimia ke pupuk organik. Salah satunya, tanah sudah terbiasa menyerap zat kimia.
“Kalau langsung organik, tidak bisa. Bisanya, pupuk kimia dikurangi sedikit-sedikit. Kalau lepas dari kimia langsung juga nggak bisa. Karena, tanahnya sudah terbiasa kena pupuk kimia,” jelasnya, kemarin (23/3).
Kaderi mengaku, sebelumnya dia dan beberapa anggota poktan sudah mencoba menggunakan pupuk organik. Percobaan itu dilakukan selama dua tahun. Namun, justru padi sulit berkembang. Hal itu juga menjadi pertimbangan petani mengapa urung berani seketika pindah ke pupuk organik.
Meski padi susah berkembang, lanjut Kaderi, ada manfaat lebih saat menggunakan pupuk organik. Pasalnya, padi yang dihasilkan memiliki kualitas beras lebih baik. Setelah dimasak, rasa nasi jauh lebih enak dan tidak mudah basi. Itu adalah sederet keuntungan dari penggunaan pupuk organik. “Harganya (hasil panen, Red) bisa beberapa kali lipat lebih mahal,” terangnya.
Dia menambahkan, peralihan langsung dari kimia ke organik nantinya bakal membuat petani kalang kabut. Sebab, pertumbuhan padi jelas akan mengalami kendala. Benih-benih padi juga tidak bisa berbobot. Kaderi menyebut, syarat untuk menggunakan pupuk organik adalah dengan mengurangi konsumsi pupuk kimia secara perlahan. Namun, hal itu belum juga memberikan hasil sempurna.
Kini, demi menunjang kualitas tanah dan tumbuhan, Kaderi lebih condong memanfaatkan pupuk kandang dari hasil kotoran sapi. Itu sudah dia lakukan bersama anggota poktan. Langkah itu untuk menyiasati kekurangan pupuk subsidi.
“Karena pupuk subsidi kan ini dipangkas, petani banyak yang kekurangan. Akhirnya pakai pupuk kandang,” kata pria ramah itu.
“Tolong (pemerintah, Red) distribusi pupuk dipermudah. Hasil pertanian paling tidak harus seimbang dengan biaya tanam dan pemupukan. Jadi, petani desa tidak dirugikan,” imbuh Kaderi.
Widodo, salah seorang anggota poktan lain mengakui hal yang sama, terlebih soal pupuk organik. Menurut dia, penggunaan pupuk organik harus diterapkan secara kompak. Sebab, jika hanya satu lahan saja yang tidak menggunakan pupuk kimia, maka hasil pertanian tidak akan berubah.
“Kalau satu organik tapi lain pakai kimia, itu tidak bisa. karena air kan mengalir, biasanya dari yang kimia ke organik,” kata Widodo.
“Kalau mau diorganik, tidak bisa hanya beberapa petak. Harus semua. Kalau satu titik saja tak bisa,” lanjutnya.
Dia menyebut, ada masa waktu bagi tanah untuk bisa menyerap pupuk organik. Waktu yang diperlukan sekitar tiga tahun. Dengan begitu, padi dan tumbuhan lainnya mungkin bisa mulai terbiasa menggunakan pupuk organik.
Selain itu, dia juga tak mempermasalahkan dengan menggunakan pupuk kandang. Sebab, alternatif itu bisa mengurangi biaya tanam, pupuk, dan obat yang mahal. Bisa jadi, kata Widodo, itu merupakan salah satu upaya petani untuk mengurangi pupuk kimia yang datangnya sering terlambat.
“Sekarang kan padi murah, sedangkan obat pertanian dan pupuk harga melejit tinggi. Pupuk malah kadang datang terlambat. Ini harus jadi pekerjaan pemerintah,” tandas Widodo.
Seperti diberitakan, isu soal kelangkaan pupuk subsidi dibantah oleh dinas pertanian dan pangan (dispertapa). Pasalnya, selama ini stok pupuk subsidi tetap ada. Namun, alokasinya tidak bisa memenuhi Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang sebelumnya diajukan kelompok petani. (mg2/c1/wen)