KABUPATEN BLITAR – Kajian kitab kuning rutin digelar di Pondok Pesantren (Ponpes) At-Tarbiyah. Abjad pegon juga sudah jadi makanan sehari-hari para santri dalam kajian. Yaitu, melalui metode lalaran. Tapi, pihak pengasuh dan pengurus ponpes punya materi tambahan guna memperluas wawasan para peserta didiknya.
Pengurus Ponpes At-Tarbiyah, M. Ilham Muzaki mengungkapkan, pihak ponpes memberi materi tambahan bahan ajar berupa bahasa Jawa lawas. Hal ini rutin dipraktikkan dalam setiap kajian lalaran kitab kuning di setiap harinya.
“Kalau memaknai kitab kuning menggunakan aksara pegon itu sudah pasti. Tapi, bukan hanya diajarkan memaknai kitab, tapi santri di sini juga diajari untuk belajar bahasa Jawa lawas atau kuno,” jelasnya.
Dalam praktiknya, kiai akan memimpin sesi kajian atau lalaran kitab kuning. Seperti yang diketahui, kitab kuning berisi bacaan dalam aksara pegon. Nah, hal ini yang dimanfaatkan oleh pengajar untuk menularkan keilmuan soal penggunaan bahasa Jawa lawas. “Dan yang diajarkan itu adalah bahasa Jawa yang memang sudah sangat jarang dipakai sehari-hari,” kata Muzaki.
Hasilnya, proses kajian kitab menjadi lebih menarik dan interaktif. Alasannya, kiai juga akan mengajak berdiskusi para santri jika menemukan kata-kata bahasa Jawa lawas yang terbilang sulit atau sudah tidak dipakai dalam percakapan sehari-hari.
“Bahkan, kiai juga akan mbedeki (melontarkan tebakan, Red) santri soal kata yang susah. Misal, ada kalimat ‘panggonan nyagak talang‘. Santri akan diminta mencari tahu maknanya. Sedangkan, kalimat itu berarti ‘tempat yang menarik perhatian’. Atau bermakna riya,” bebernya.
Disinggung soal alasan diajarkannya bahasa Jawa lawas, pria ramah ini mengaku, pihak ponpes ingin agar para santri dapat melestarikan bahasa Jawa lawas yang kini mulai ditinggalkan oleh masyarakat. “Kami ingin melestarikan agar tidak punah. Santri juga harus bisa menjaga warisan budayanya,” tegasnya.
Lebih dari itu, jelas Muzaki, bahwa belajar kitab kuning dengan menggunakan bahasa Jawa kuno bisa membantu para santri untuk meperdalam ilmu tafsir. Sebab, bahasa Jawa lawas punya makna lebih dalam daripada bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari. “Iya. Karena maknanya itu bisa lebih dalam dan luas. Itu penting untuk belajar memaknai kitab kuning,” akunya.
Tak kurang enam judul kitab kuning jadi menu harian para santri selama Ramadan. Keenam kitab yang dimaksud adalah Tafsir Jalalain, Tanbihul Ghofilin, Nashoidud Diniyah, Tafsir Al Fatihah, Qomi’ Tughyan, dan Fadhoilul Qur’an wa Dzikir. Kabar baiknya, para santri kini sudah menuntaskan seluruh kajian alias khatam kitab. Maka, mulai pekan ini para santri sudah diperkenankan pulang ke rumah masing-masing untuk menyambut hari raya Idul Fitri. “Tapi, ini bukan berarti liburan. Karena santri harus tetap belajar di mana pun, termasuk saat di rumah,” tegasnya. (dit/c1/ady)