KOTA BLITAR – Bukan hanya menginstruksikan para santri untuk membaca dan mempelajari Alquran, Pondok Pesantren (Ponpes) Ibadurrohman Ngegong juga mewajibkan para santri untuk menghafal kitab suci umat Islam itu.
Tujuannya agar para santri yang notabene merupakan anak yatim dan terlantar bisa menjadi generasi yang mandiri dan Qurani. Wajar jika berbagai aktivitas kajian dan belajar tidak jauh-jauh dari kajian dan hafalan Quran.
Ponpes yang berlokasi di Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan ini memang terbilang unik. Sebab, lembaga pendidikan diniah ini menerima anak-anak yatim dan terlantar utuk dijadikan santri. Tentu para pengasuh perlu metode khusus dalam upaya membina dan mendidik santri yang sebagian besar masih anak-anak. “Ada 30 santri. Sebagian besar berusia 2-4 tahun. Yang paling besar itu baru duduk di bangku kelas II SD,” kata pengasuh Ponpes Ibadurrohman Ngegong, M. Mansur Sodiq kepada Koran ini kemarin (21/4).
Mansur menegaskan, ada dua materi pokok yang dijadikan bahan ajar pokok kepada para santri. Yaitu, materi pembelajaran fasalatan (praktik salat) dan tahfizul (menghafal) Alquran. Khusus soal tahfizul Quran, pengasuh menerapkan metode khusus bagi para santri. Metode yang dimaksud adalah dengan menerapkan sistem talaqi.
“Jadi, pengasuh yang membaca, santri yang menirukan. Ini disebut talaqi atau metode Gua Hira. Seperti Rasulullah SAW menirukan ucapan malaikat Jibril. Rasulullah SAW tidak bisa membaca dan menulis, tapi bisa menghafal karena menirukan bacaan malaikat Jibril,” ungkapnya.
Metode ini, jelas Mansur, disebut sebagai cara paling efektif untuk membuat anak cepat menghafal Alquran. Sebab, anak atau santri akan terlatih untuk mendengar dan merekam bacaan sebelum mulai menirukan bacaan. “Kalau di usia balita, cara ini yang paling efektif. Karena anak itu belajar lebih cepat dengan cara mendengar,” bebernya.
Disinggung alasan kenapa pihak ponpes getol menanamkan hafalan Alquran, tutur Mansur, psikologi anak yatim dan terlantar mudah terguncang. Itu karena pola pikir mereka belum mampu untuk menerima beban traumatis atas kejadian yang pernah menimpa diri atau keluarganya. “Mereka dari keluarga kurang mampu atau broken home. Maka, perlu ada semacam kiat belajar dan terapi mental khusus,” terang pria 58 tahun ini.
Itu sebabnya, materi hafalan Alquran dijadikan bahan ajar pokok. Diharapkan hal ini dapat menjadi “obat” rohani bagi para santri sehingga bisa bangkit dan mandiri. “Seperti sabda Rasulullah SAW, Alquran itu adalah syifa atau obat bagi rohani kita. Dengan begitu, anak-anak bisa tumbuh menjadi generasi berkualitas dengan latar belakang sebagai hafiz (penghafal Alquran, Red),” sambung pria berkacamata ini.
Pengasuh juga senantiasa menanamkan pola pikir kepada anak-anak ini (para santri, Red), bahwa mereka adalah santri penghafal Alquran mandiri. Para santri juga diberi landasan berfikir bahwa mereka bukanlah anak-anak yang terlantar. Sebab, mereka diberi penekanan bahwa para santri penghafal Alquran adalah calon pemimpin besar.
“Ibu Bung Karno selalu bilang kepada Bung Karno bahwa dia adalah putra sang fajar dan calon pemimpin. Kami di sini juga tidak hanya menyuapi santri. Tapi, kita selalu sampaikan bahwa mereka adalah calon ulama, kiai, dan pemimpin besar,” tegas Mansur. (dit/c1/ady)