TULUNGAGUNG – Kekerasan seksual memang rentan terjadi pada usia anak. Sedangkan efek kekerasan seksual yang dialami oleh anak akan berakibat traumatis tingkat tinggi hingga percobaan bunuh diri.
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Tulungagung, Ifada Nur Rohmania mengatakan, efek kekerasan seksual yang dialami oleh anak akan berakibat traumatis tingkat tinggi. Traumatis tersebut bisa saja meledak kapan saja.
Menurut dia, momentum ledakan akan traumatis yang telah lama terpendam tersebut bisa beragam bentuknya. Salah satu bentuk ledakannya yakni bisa saja anak tersebut bunuh diri. “Secara psikologisnya bisa saja rapuh sehingga berakibat ketakutan atau traumatis yang berkepanjangan,” jelasnya kemarin (25/7).
Lanjut dia, selain itu, dampak lain dari kekerasan yang dialami anak bisa berdampak pada hubungan sosialnya kepada teman sebayanya dan masyarakat sekitar. Dengan begitu membuat kepribadian anak tersebut secara mendadak lebih tertutup. “Ya pasti dia tidak mau berkumpul dengan teman-temannya lagi dan lebih memilih untuk berdiam diri di kamar. Ketika ditelusuri lebih lanjut, ternyata mereka itu memang memiliki masa lalu kekerasan seperti kekerasan seksual dan kekerasan dalam bentuk lainnya,” paparnya.
Dia menambahkan, pada usia anak memang rentan akan kekerasan seksual yang menimpanya. Dengan begitu pada usia tersebut kejadian-kejadian kekerasan yang menimpa anak sangat terekam dengan jelas. “Itu bisa menghantui anak tersebut walaupun sudah dewasa, karena otak anak tersebut masih konkrit. Hanya saja ledakannya itu yang beragam, meski pun tetap ada dampak ekstrim pada setiap usia,” ucapnya.
Dia mengaku, untuk mengidentifikasi kekerasan seksual yang terjadi pada anak dapat dilakukan dengan mengajak anak untuk bermain peran. Hal itu lantaran kekerasan seksual kepada anak tersebut terjadi dengan menggunakan bahasa-bahasa anak. “Contoh bermain peran dokter-dokteran. Nah, kalau yang anak pegang itu tangan atau dada itu normal. Sedangkan jika yang dipegang itu kemaluan, maka ada yang perlu ditelusuri kembali penyebab anak tersebut memegang itu,” ungkapnya.
Berbeda halnya untuk mengidentifikasi kekerasan seksual pada remaja. Perubahan sikap yang signifikan pada remaja perlu untuk dicurigai. Tidak ada remaja yang tiba-tiba menutup diri jika tidak ada sesuatu yang menimpanya. “Kok dia menyendiri terus, padahal biasanya ceria dan punya banyak kegiatan. Itu perlu dicurigai, karena ketika remaja menarik dirinya dari lingkungan sosial itu pasti ada yang tidak beres,” terangnya.
Dia menegaskan, jika terjadi indikasi tersebut pada anak dan remaja, dianjurkan orang tua untuk segera membawa ke psikiater. Hal itu karena untuk meredakan tekanan mental yang dialami oleh anak tersebut.
Diketahui dari Januari hingga Juli 2022 ini, KPA telah menangani kasus kekerasan seksual pada anak sekitar 10 anak. “Misalnya kasus-kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan itu biasanya kan bisa lewat sekian tahun. Nah ketika tiba pada suatu masanya ledakan mental dari korban bisa saja terjadi. Kalau saya tetap menganjurkan untuk ke psikiater,” tutupnya. (mg2/din)