TULUNGAGUNG- Petani di Tulungagung kelimpungan karena kekurangan pupuk bersubsidi. Itu terjadi lantaran alokasi pupuk subsidi dari pemerintah pusat tak seratus persen dari sistem elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK).
Tri Widyono Agus Basuki menyebut, awal Juli mendatang, pemerintah merencanakan hanya ada dua jenis pupuk yang disubsidi yaitu jenis urea dan NPK. Namun, jenis pupuk urea dalam usulan e-RDKK tahun 2022 di Tulungagung adalah 33.524 ton, sementara alokasinya hanya 25.000 ton. Artinya, pupuk yang bisa dibagi ke petani Tulungagung adalah 76 persen dari usulan RDKK. Sedangkan pupuk subsidi jenis NPK dalam usulan e-RDKK 38.900 ton, tapi yang terealisasi hanya 13.000 ton atau 35 persen saja pada tahun 2022 ini.
“Domainnya pupuk subsidi berada di pusat. Kalau di daerah hanya tinggal menerima dan membagikan. Kemampuan pemerintah pusat hanya memberikan pupuk subsidi segitu. Namun, per pertengahan Mei 2022, pupuk subsidi yang sudah tersalur 11 ribu ton,” katanya.
Dia mengungkapkan, dengan keadaan demikian memang terdapat beberapa kelompok tani di Tulungagung yang melayangkan surat melalui Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Mereka berpendapat bahwa masih banyak petani yang memerlukan tambahan pupuk. “Dari 19 BPP disimpulkan bahwa petani di Tulungagung mengusulkan tambahan pupuk urea 6.094 ton dan NPK 12.217 ton. Sudah kita kirimkan usulan tersebut ke provinsi,” katanya.
Sementara itu, salah satu petani di Desa Sobontoro, Kecamatan Boyolangu, Didik mengungkapkan, pada musim tanam sebelumnya yakni awal tahun 2022, pihaknya masih saja merasakan kurangnya pupuk subsidi yang didapatkan untuk kebutuhan tanaman padinya. Bahkan, kekurangannya semakin banyak dibanding sebelumnya. Pasalnya, diakui keberadaan pupuk merupakan hal yang penting untuk tanaman padi. Masalahnya, ketika pupuk dikurangi maka akan berdampak pada jumlah panen padi.
Dia mencontohkan, kalau biasanya satu petak sawah yang digarap memperoleh 1 ton, tapi ketika pupuk subsidi ini dikurangi, maka hasil panennya menurun hanya sekitar 800 kuintal saja. Pengakuan seperti itu tidak hanya Didik saja yang merasakan, tapi juga beberapa petani lainnya. “Petani ini semakin sulit, pupuk juga makin sulit, sedangkan harga jual padi segitu-segitu saja,”katanya.
Dia mengatakan, apalagi untuk petani yang memiliki lahan garapan luas sehingga tentunya juga membutuhkan pupuk lebih banyak. Ketika pupuk subsidi yang didapatkan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan lahannya, maka biasanya petani akan lari membeli pupuk bersubsidi. Bukan tanpa masalah, tapi malah timbul permasalahan baru lantaran harga pupuk subsidi yang terbilang mahal sampai tiga kali lipat dari harga pupuk nonsubsidi.
“Kebetulan lahan garapan saya cukup luas. Biasanya untuk menutupi kebutuhan pupuk karena kurangnya pupuk subsidi, dengan membeli pupuk nonsubsidi yang kira-kira membutuhkan Rp 6 juta. Namun, musim tanam kemarin membengkak menjadi Rp 10 juta karena kurangnya pupuk yang bertambah banyak,” jelasnya.
Karena itu, pihaknya berharap untuk musim tanam yang sebentar lagi akan dimulai, hendaknya keberadaan pupuk subsidi untuk petani bisa sepenuhnya terpenuhi. Itu berguna untuk memaksimalkan pertanian dengan hasil yang maksimal. (mg1/c1/din)