TULUNGAGUNG – Ternyata kasus kematian hewan ternak akibat penyakit mulut dan kuku (PMK) di Desa Penjor, Kecamatan Pagerwojo, lebih banyak daripada data yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tulungagung. Bagaimana tidak, data pemkab mencatatkan pada 7 Juli lalu hanya 44 ekor ternak mati akibat PMK, sedangkan di Desa Penjor mencapai ratusan.
Salah satu peternak Desa Penjor, Suwarno mengatakan, berdasarkan data yang dimilikinya tercatat total populasi ternak sapi perah di Desa Penjor berkisar 4.000 ekor. Dari jumlah tersebut, terdapat 2.981 sapi perah terpapar PMK dari 466 kandang. Sementara untuk kasus kematian sapi perah di Desa Penjor, kini sudah mencapai 175 ekor, dan 82 sapi perah telah dipotong paksa.
“Sapi yang dilakukan potong paksa itu dijual ke pedagang, asalkan masih bisa jalan. Kasus kematian ini belum saya laporkan ke dinas. Karena saya dan peternak yang lain juga bingung lapor ke siapa. Namun, Pak RT sudah mengetahui dan kami ada data detailnya,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, kasus kematian ternak akibat PMK ini tidak sesuai dengan apa yang dipaparkan dari data Pemkab Tulungagung. Bahkan, kini hampir 50 persen populasi sapi perah di Desa Penjor mengalami penurunan. Setidaknya dalam satu bulan terakhir ini kasus PMK di desa tersebut mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Dampaknya, produksi susu Desa Penjor mengalami penurunan, dari 15 ton per hari kini menjadi 600 liter per hari. Salain itu, peternak juga kesulitan untuk mengakses obat serta petugas kesehatan, karena harus ke kecamatan yang jaraknya tidak dekat. Bahkan, ketika peternak mencoba menghubungi petugas kesehatan tidak ada respons sama sekali.
Apalagi, kini harga obat mahal dan tidak ada pengobatan gratis dari Pemkab Tulungagung. Para peternak hanya mengandalkan pengobatan secara swadaya. Selain itu, karena tidak mampu membeli obat, peternak juga hanya bisa memberikan obat tradisional seperti kunir, temulawak, dan suruh.
Para peternak juga selalu menjaga kebersihan kandang. Setiap kali sapi kencing, maka langsung dibersihkan menggunakan kain lap sehingga kandang harus tetap dalam kondisi kering.
“Saya kehilangan 1 sapi mati, serta 4 ekor sapi harus dijual. Sekarang tinggal 15 ekor dari 20 sapi. Lalu, yang dijual hanya laku Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta. Itu dalam kondisi sakit, tapi masih mampu jalan,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnak dan Keswan) Tulungagung Mulyanto memaparkan jika sebenarnya dinas melakukan langkah-langkah awal. Itu sebelum adanya PMK di Tulungagung, lalu daerah lain ada yang zona merah. Saat itu ada penjual sapi murah sehingga peternak dari Tulungagung tertarik. Peternak tersebut mendatangkan sapi dari luar kota yang terjangkit PMK, masuk ke Tulungagung. Akhirnya, PMK menjadi menular drastis.
“Kami langsung mendatangkan petugas untuk penanganan di Pagerwojo, hingga tiga dokter. Di samping itu, kasus semakin meluas di kecamatan lain. Pelaku usaha di Pagerwojo dan Sendang sering saya panggil untuk evaluasi penanganan PMK,” terangnya.
Bupati Tulungagung Maryoto Birowo menerangkan, soal perbedaan data kasus kematian ternak akibat PMK di Tulungagung akan segera dilakukan evaluasi. Lalu, memastikan data yang benar sehingga dapat diketahui secara pasti. (jar/c1/din)