TRENGGALEK – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) tidak punya data jumlah rip current di pesisir selatan Bumi Minak Sopal. Alasannya, kewenangan kelautan berada di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur (Jatim).
Rip current merupakan arus laut yang memiliki tipikal menjauhi pantai. Arus ini membahayakan karena tarikan arusnya lebih kuat untuk menuju ke tengah laut.
Kepala Dinas Perikanan (Diskan) Trenggalek Cusi Kurniawati mengakui bahwa rip current adalah ombak yang datang kemudian kembali. Tipikal gelombang kembali itu lebih kencang sehingga membahayakan orang yang tidak ahli dalam berenang. “Menjadi semakin berat untuk berenang menuju pesisir,” ungkapnya.
Rip current diduga sebagai salah satu pemicu laka laut yang ditandai dari peristiwa korban terseret ombak. Cusi membenarkan hal tersebut ketika melihat fenomena alamnya.
Rip current yang mengancam keselamatan orang, tak sebanding dengan kajian akademis untuk menemukan titik atau koordinat di pesisir selatan Trenggalek. Agar warga nelayan maupun wisatawan bisa lebih waspada. “Kita tidak bisa omong, kalau kewenangan gejala alam fisik laut itu BMKG kemaritiman. Kita cenderung ke mitigasinya,” jelasnya.
Kajian akademis tentang rip current yang minim membuat fakta-fakta ilmiah dari fenomena alam itu menjadi minim. Dia menduga, di tiga kecamatan di pesisir selatan meliputi Panggul, Watulimo, Munjungan, menyimpan potensi rip current. Namun, rip current, kata dia, tidak sepanjang areal pantai. Melainkan spot-spot tertentu. “Nelayan itu sudah hafal, di sini dan di sini. Mereka menyebutnya ada palung. Namun ketika kita teliti, itu bukan palung,” ungkapnya.
Karena itu, pihaknya mengimbau agar wisatawan lebih waspada ketika berenang di pesisir selatan. Utamanya di Pantai Konang. Menurut Cusi, pantai itu bukan tempat berenang karena memiliki kedalaman hingga 18 meter. “Minimal, kita itu memberi peringatan. Ada pokdarwis dari desa. Dan di Konang tidak untuk mandi,” tutupnya. (tra/c1/din)