KOTA BLITAR – Lewat karya lukisan yang dibuatnya, Rizat Arifin ingin mengenalkan sekaligus melestarikan tradisi dan budaya Blitar kepada generasi muda yang mulai luntur. Mayoritas lukisan perupa asal Surabaya itu bertema sosial dan budaya. Dia tak ingin kalangan milenial terseret budaya luar.
“Dulu macan Jawa punah itu gara-gara ini (Rampogan Macan, Red). Pertunjukkan zaman dulu. Persembahan dari bupati kepada tamu Belanda,” kata Rizat, sembari jari telunjuknya menunjuk lukisan berukuran 1×1,5 meter itu.
Lukisan itu bercerita tentang tradisi Rampogan Macan. Tradisi Jawa zaman dahulu. “Biasanya digelar di Alun-Alun. Jadi, macan itu dilepas di tengah-tengah kerumunan penonton. Kemudian ditombak oleh orang-orang di sekelilingnya yang menonton, hingga mati,” ujar warga Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan ini.
Cerita tradisi semacam itu mungkin sudah jarang terdengar. Apalagi oleh kalangan milenial atau generasi muda sekarang. Terlebih seiring perkembangan teknologi yang pesat.
Berangkat dari itulah, Rizat berupaya mengenalkan cerita tradisi serta budaya Jawa khususnya Blitar yang kini jarang terdengar kepada generasi muda. Caranya, melalui lukisan yang diciptakannya. “Salah satunya Rampogan Macan ini. Bahwa dulu di Blitar itu ada semacam pertunjukkan tersebut. Itu sebuah tradisi Jawa, namun sekarang sudah jarang didengar anak-anak zaman sekarang,” ungkap pria 54 tahun ini.
Pria bernama lengkap Rizat Arifin ini bisa dikatakan salah satu pelukis yang tertarik dengan tema sosial-budaya. Terutama terkait tradisi Jawa zaman dulu. Dia bertekad mengenalkan tradisi dan budaya Jawa melalui lukisan kepada masyarakat khususnya anak-anak muda.
Dia tidak ingin anak-anak muda zaman sekarang buta terhadap budaya dan tradisinya sendiri. Mereka justru paham dan fasih terhadap budaya luar apalagi yang viral di internet ataupun media sosial (medsos). “Coba saja, anak-anak sekarang ditanya tentang Rampogan Macan, legenda lembu suro, pasti banyak tidak tahu. Padahal, ini kan termasuk cerita-cerita lama. Sebagai generasi muda minimal harus tahu dan menjaganya,” jelas bapak dua anak itu.
Mengenai lukisan Rampogan Macan tersebut, itu berawal dari motivasi Rizat untuk mencari hal baru di Blitar. Sebab, baru setahunan ini dirinya fokus menetap di Blitar. Selama ini dirinya banyak berkelana ke luar daerah.
Terlebih sejak pandemi Covid-19 melanda, pesanan lukisan sepi. Untuk tetap produktif, dirinya menyibukkan dengan tetap melukis. “Karena saya lebih ke tema sosial-budaya, saya cari cerita budaya atau tradisi khas Blitar yang mungkin sudah jarang di dengar orang. Ketemulah Rampogan Macan itu,” terang Ketua Ikatan Pelukis Indonesia (IPI) Blitar Raya ini.
Mungkin selama ini Rizat sudah sering melukis tokoh-tokoh pahlawan asal Blitar. Seperti di antaranya Presiden Soekarno hingga Soedanco Supriadi. Begitupun ikon-ikon Blitar, yaitu Koi.
Singkat cerita, dia mulai mencari sejumlah referensi mengenai tradisi Rampogan Macan. Baik dari buku maupun internet. Setelah berhasil mendapatkan ceritanya, kemudian langsung dilukiskan.
Rizat menggunakan kanvas berukuran 1×1,5 meter sebagai media lukis. Dia mulai melukis “Rampogan Macan” pada Desember 2021 lalu. Dan hingga saat ini lukisan itu masih dikerjakan meskipunn kelihatannya sudah “Ini masih belum sempurna. Ada beberapa hal yang harus saya tambahkan. Seperti gambar tali temali di bambu,” ujar pria yang belajar melukis secara otodidak ini.
Selain lukisan Rampogan Macan yang sedang dikerjakan, sudah banyak karya lukisan lain yang dibuatnya. Hampir semua bertema tentang sosial-budaya. Beberapa karya itu terpajang di galeri sederhananya di Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan.
Sebagian karya lukisannya juga ada yang pernah dipamerkan di sejumlah daerah. Bahkan, dia juga pernah mengikuti pameran tingkat internasional di luar negeri. “Pernah di Singapura, Belgia hingga Arab,” kenangnya.
Usahanya mengikuti pameran di tingkat dunia itu membuahkan hasil. Salah satu lukisannya dibeli orang. “Waktu itu laku Rp 20 juta. Lukisannya tentang Wanita yang melamun, jika tidak salah,” ujarnya.
Sebagai seorang pelukis ataupun perupa, Rizat memiliki sejumlah harapan yang ingin diwujudkan. Salah satunya mengangkat nama-nama pelukis asal Blitar agar lebih dikenal secara luas. Karena itu perlu peran penting juga dari pemerintah daerah (pemda) setempat untuk turut mengenalkan karya pelukis Blitar ke luar.
Paling tidak, pemerintah daerah bisa ikut menghargai lukisan-lukisan karya perupa Blitar sendiri. Misalnya dengan memajang lukisan karya perupa Blitar di tiap kantor-kantor instansi. “Minimal tiap ruang ada satu lukisan. Lukisan bisa dipesan lewat perupa-perupa Blitar. Jika tiap perupa dapat satu pesanan, kan lumayan,” terangnya.
Secara tidak langsung, hal tersebut juga bisa mengangkat kesejahteraan perupa. Apalagi di tengah pandemi saat ini. Keinginan itulah yang kini sedang dikomunikasikan oleh Rizat ke pemerintah daerah. “Di samping memberikan ruang untuk pameran lukisan, kalau perlu juga ikut memesan karya lukisan perupa Blitar. Jangan malah karya dari luar yang dipesan. Bukannya karya perupa Blitar yang dibantu mengenalkan ke secara luas,” tuturnya. (*/wen)