WATULIMO, Radar Trenggalek – Pembayaran jatah pasca panen dan tahunan disoal. Petani penggarap lahan hutan (pesanggem) menilai hal tersebut cukup memberatkan. Alasannya per hektare dipatok hingga Rp 400 ribu.
Ketua kelompok kerja (Pokja) Gresik lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) Argo Lestari, Desa Karanggandu, Kecamatan Watulimo, Suminto mengatakan, berdasarkan susunan Pokja LMDH Argo Lestari pada 2015, pengukuhan koordinator pokja sebanyak 15 orang. Tiap koordinator menaungi ketua pokja yang memiliki tugas menarik jatah terhadap pesanggem.
“Pipil jatah tahunan sejak 2002-2021 mengalami kenaikan. Semula Rp 80 ribu per hektare, kini Rp 400 ribu per hektare. Sementara untuk bagi hasil pasca panen tergantung dengan produktivitasnya. Artinya semakin banyak panen, maka semakin besar bagi hasilnya (dengan LMDH, Red),” jelasnya.
Bagi para pesanggem, penarikan jatah LMDH Argo Lestari memberatkan. Regu juga bekerja sebagai pesanggem, yang mengalami langsung keadaan yang ada di lapangan. Dan, keberatan itu ketika hasil panen berujung pahit (telat panen atau bahkan puso, Red). Meski dalam kondisi terpuruk, para pesanggem tetap harus membayar jatah tahunan ke LMDH.
“Keberatannya itu tadi, pembayaran jatah tahunan meski tidak panen. Padahal, petani butuh biaya operasional untuk mengelola lahan hutan,” ujarnya. Di sisi lain, regu yang keberatan, kata Minto, ada sekitar 15 persen, sementara sisanya tak berani menyuarakan pendapat, karena khawatir akan berimbas terhadap nasib pengelolaan lahan hutannya. (tra/rka/dfs)