KABUPATEN BLITAR – Tak pernah terlintas di benak pasangan suami istri (pasutri) Sudomo dan Tunik yang bakal kehilangan putra secara tragis. Putra bungsunya, M. Rizki Darwawan, menjadi salah satu korban kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10) lalu.
Aspal jalan di Lingkungan Plosorejo, Kelurahan Bence, Kecamatan Garum, masih tampak basah sore kemarin (5/10). Rintik hujan masih turun saat Koran ini bertamu ke rumah duka pasangan Sudomo dan Tunik. Tenda berwarna hijau lusuh masih terpasang di teras rumah bercat putih itu.
Memasuki rumah, tampak ibunda M. Rizki, Tunik terlihat sedang duduk di lantai. Matanya masih memerah dan wajahnya masih tampak sembab menunjukkan kepedihan tak terperi yang masih dirasakan. “Dia (Rizki, Red) masih kelas X SMK. Baru tiga bulan ini masuk sekolah,” ujarnya lirih.
Pada 22 September lalu adalah kali terakhir Tunik dan suami bertemu si bungsu. Sebab, pasutri ini sehari-hari bekerja sebagi penjual makanan ringan di Malang. Rizki tinggal di rumah bersama kakak sulungnya. “Dia dirawat kakek dan neneknya, tapi hampir setiap hari kami selalu bertukar kabar melalui handphone,” tutur Tunik.
Sejak kecil, Rizki memang sudah jatuh cinta kepada Arema FC. Bahkan, remaja 16 tahun ini sering meminta dibelikan pernak-pernik klub yang bermarkas di Malang itu sejak duduk di bangku TK. Kecintaannya ini berlanjut hingga beranjak remaja. “Setiap kali Arema bertanding di Stadion Kanjuruhan, Rizki selalu meminta uang untuk menonton. Dan saya selalu turuti,” ujar wanita 43 tahun ini.
Sebelum momen laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya beberapa waktu lalu, Tunik dan suami sempat punya firasat. Itu menjadi alasan kenapa dia dan suaminya sempat tidak memberi izin ketika Rizki berpamitan untuk bertolak ke Malang.
“Ayahnya sudah tidak memberi izin. Lalu, dia menghubungi saya dan meminta untuk ditransfer sejumlah uang. Katanya untuk nonton Arema yang terakhir kali. Tapi, saya ndak transfer agar dia tidak berangkat. Karena saya sejak awal sudah khawatir,” kenang Tunik, sambil sesekali menyeka air matanya.
Rupanya, laga Arema FC kontra Persebaya itu betul-betul jadi momen terakhir Rizki menonton klub kebanggannya. Pada hari pertandingan, dia nekat berangkat ke Malang tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Rizki hanya berpamitan kepada kakek dan kakak sulungnya di rumah. Remaja yang bersekolah di salah satu SMK swasta di Kota Blitar ini berangkat bersama ketiga rekannya dengan mengendarai motor. “Begitu sampai di stadion, Rizki sempat menelepon pamannya. Dia bilang kondisinya baik-baik saja. Tapi, itu sebelum pertandingan berakhir,” ungkapnya.
Malang tak dapat dihindarkan. Kerusuhan mulai pecah sekira pukul 23.00. Seperti yang diberitakan, aparat keamanan menembakkan gas air mata dalam jumlah besar guna membubarkan massa.
Saat itu, Tunik dan Sudomo sedang tidur di rumahnya yang berada di Malang. Keduanya langsung kaget begitu menerima kabar dari tetangga jika putranya terkena gas air mata. Mendengar hal itu, pasutri ini bergegas pergi ke sejumlah rumah sakit di wilayah Kabupaten Malang.
“Ada tetangga di Malang yang juga teman anak sulung kami. Dia memberi tahu bahwa Rizki kena gas air mata dan sekarang ada di rumah sakit. Tetangga saya tidak memberi tahu lebih detail soal kondisinya. Mungkin dia sudah tahu, tapi tidak ingin kami syok,” terangnya.
Guna memastikan kondisi putranya, pasutri ini lantas menuju RSUD Kepanjen pada Minggu (2/10) dini hari. Tepatnya pada pukul 02.30. Hasilnya nihil, lalu mereka segera pergi rumah sakit lain. Yakni, RS Wava Husada. Di sana, terlihat banyak mayat korban kerusuhan. “Suami saya membuka satu per satu penutup wajah korban yang sudah meninggal. Saya langsung histeris begitu melihat Rizki sudah dalam kondisi meninggal dunia. Perasaan saya campur aduk,” beber Tunik, lantas menangis.
Itu adalah momen paling menyakitkan bagi Tunik dan Sudomo. Betapa tidak, keinginan terakhir si buah hati tak sanggup mereka turuti. Hal itu menjadi penyesalan tersendiri bagi Tunik. Kini tak akan ada lagi tawa riang Rizki sepulang sekolah di rumah. Tak akan ada lagi senda gurau Rizki saat menelepon ibunya. “Dia paling dekat dengan saya. Anaknya sangat ramah dan mudah bergaul. Dia punya banyak teman. Guru di sekolah juga bilang kalau dia murid yang rajin,” ujarnya dengan suara parau.
Saat ini, dia tidak berharap banyak. Hanya ingin bisa segera mengikhlaskan kepergian putra bungsunya. Sebab, saat ini dia masih mengalami trauma atas musibah ini. Dia juga meminta agar pemerintah meniadakan kegiatan sepak bola hingga seluruh aspek pengamanan di stadion terpenuhi.
“Saya sudah ndak berani nonton tayangan berita atau sepak bola. Gas air mata di kejadian kemarin (kerusuhan Kanjuruhan, Red) sudah menjadi air mata bagi saya. Lebih baik pertandingan sepak bola dihentikan jika pemerintah belum bisa memastikan keamanan. Saya sangat trauma. Tapi, saya juga tetap mencoba ikhlas,” pungkasnya. (*/c1/ady)