KOTA BLITAR – Namanya banyak disebut-sebut dalam kurun 90-an hingga 2008. Berbagai gelar kompetisi sepak bola tanah air pernah dia rengkuh. Dia adalah Berta Yuana Putra, eks pemain PSBI Blitar, Persik Kediri, Persema Malang, hingga Perseden Denpasar. Kendati kini punya kesibukan lain, dia tetap aktif mengkritisi persepakbolaan Blitar.
Mendung menyelimuti langit Bumi Penataran kemarin. Rumput lapangan Desa Bendosewu, Kecamatan Talun, masih basah oleh hujan sore kemarin. Di atas lapangan itu, dua kesebelasan tampak melangsungkan laga persahabatan. Dari puluhan pria yang sedang berlaga, ada satu wajah yang terlihat tak asing. Dia adalah Berta Yuana Putra, pemain asli Blitar yang dulu sempat berjaya di dunia sepak bola nasional.
Harus diakui, namanya pernah jadi fenomena di sepak bola. Bukan hanya di lingkup provinsi, nama Berta dikenal di seantero Indonesia. Kendati punya kiprah mentereng dalam karir profesionalnya, dia mengawali karir sepak bolanya dari kompetisi antarkampung (tarkam). “Dulu SSB tidak menjamur seperti sekarang. Di Blitar dulu kan hanya ada satu atau dua SSB. Tapi, saya otodidak saja dalam belajar sepak bola,” tuturnya.
Tanpa diduga, bakat alaminya tercium oleh tim lokal PSBI Blitar. Itu membuat Berta dikontrak menjadi pemain tim berjuluk Singo Lodro untuk mengarungi kompetisi Piala Soeratin U-18. “Pertama saya jadi pemain profesional itu di PSBI junior. Di sana saya dikontrak dua musim. Yaitu, mulai 1994-1996,” kenang pria 44 tahun ini.
Melihat penampilan apik Berta bersama PSBI Blitar membuat Persema Malang tertarik. Benar saja, musim berikutnya dijalani Berta dengan berkostum Persema Malang pada 1996-1997.
Karirnya di dunia kulit bundar kian meroket. Buktinya, nama Berta masuk dalam skuad Timnas Garuda di Piala Asia 1999. Kemudian, petualangannya terus melejit hingga Persema Malang senior untuk berkompetisi di PON Jatim 2000. “Walaupun kita kalah di Piala Asia, alhamdulillah saya masih bisa mengantar Persema untuk meraih medali emas di PON Jatim 2000,” jelas warga Kelurahan Beru, Kecamatan Wlingi, ini.
Tahun berikutnya dia menerima pinangan tim besar asal Pulau Dewata, yakni Perseden Denpasar. Merasa petualangan bersama Perseden harus diakhiri dan menjajal tantangan anyar, tak butuh waktu lama, tim kuat di tanah air waktu itu, Persik Kediri mengajaknya bergabung. Dia merasakan atmosfer bermain dengan sejumlah nama beken, seperti Ronald Fagundez dan Cristian Gonzales.
Bermain di klub besar bersama sederet pemain bintang membuat permainannya semakin berkembang. Bahkan, bisa dibilang puncak karirnya sebagai pemain sepak bola dicicipi saat berkostum Persik Kediri selama kurang lebih empat musim kompetisi. Yaitu, selama kurun waktu 2004-2008. Tak heran, dia beberapa kali turut merasakan atmosfer pertandingan antarklub se-Asia usai mengantar Persik Kediri juara Copa Indonesia.
“Saya ingat selama saya bermain di sana, Persik juara Copa Indonesia dua kali. Lalu, saya juga merasakan bagaimana bermain melawan tim kuat Asia seperti Yokohama Marinos dan Shanghai Shenhua. Saya cetak gol saat melawan dua tim tersebut,” beber pria kelahiran Februari 1978 ini.
Waktu berlalu. Ayah dua anak ini juga sempat berkostum PSIS Semarang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali membela tim daerah asalnya, PSBI Blitar pada 2010. Empat tahun kemudian, dia memutuskan untuk gantung sepatu. Keputusan ini diambil bukan tanpa alasan. “Petualangan saya di sepak bola sudah cukup, akhirnya saya menerima tawaran pekerjaan dari Pemprov Jatim sebagai ASN,” ujarnya.
Meskipun sudah meninggalkan nama besarnya di dunia sepak bola, pegawai Dinas Kepemudaan dan Olahraga (Dispora) Provinsi Jatim ini tidak bisa lepas dari dunia yang pernah digelutinya, yaitu sepak bola.
“Setiap akhir pekan saya masih main bola. Walaupun sudah tidak aktif sebagai pemain profesional, saya memang tidak bisa meninggalkan sepak bola. Apalagi di Blitar kan banyak teman main bola,” akunya.
Bukan cuma itu, kondisi sepak bola di Blitar juga menjadi perhatiannya. Dia menilai para pemangku kebijakan di Blitar kurang total dalam mengurus sepak bola. Itu yang membuat tim asal Blitar hanya “numpang ikut” dalam beberapa kompetisi. “Sekarang seperti asal bisa ikut kompetisi saja, padahal harusnya lebih dari itu. Saya sering sampaikan kritik kepada pemangku kebijakan, khususnya lembaga yang menaungi sepak bola,” tegasnya.
Kendati belum lepas sepenuhnya dari sepak bola, Berta mengaku enggan untuk menerima tawaran sebagai seorang pelatih. Sebab, dia merasa karirnya di dunia sepak bola sudah cukup hingga 2015 lalu. “Hidup itu pilihan ya. Saya memilih untuk tidak berkegiatan sepak bola secara profesional. Jadi, sekarang kita tetap memberikan masukan dan saran kepada pemerintah, sekaligus memberi motivasi bagi para pemain muda Blitar,” akunya. (*/c1/ady)