KEPANJENKIDUL, Radar Blitar – Kadjat Soejono merupakan saksi hidup perjuangan melawan Belanda. Bersama pribumi lainnya, warga Kepanjenkidul itu dididik dan dilatih orang jepang. Menghalau pasukan Belanda di Talun dan Ngantang menjadi tugasnya.
“(Nasib, Red) Manusia itu seperti angin, bisa berubah setiap saat. Hari ini masih bisa senang-senang. Tapi pasti ada waktunya mereka mendapat balasan,” ujar Kadjat Soejono.
Mbah Kadjat, sapaan akrabnya, tampak berapi-api mendengar banyaknya kabar terkait perilaku menyimpang generasi di bawahnya yang menyusahkan rakyat. Salah satunya lantaran korupsi.
Wajar dia marah. Pria 93 tahun itu merupakan salah seorang saksi sekaligus pejuang pada zaman penjajahan Jepang dan Belanda yang masih hidup hingga kini. Setidaknya pada masa Jepang dan agresi II Belanda (1948) yang pernah dia ikuti.
Kala itu warga Kelurahan Kepanjenkidul itu sudah cukup dewasa. Berumur sekitar 17 tahun, Mbah Kadjat ditugaskan kepala desa untuk berjuang melawan Belanda. Dia masuk kesatuan Lampor Merah yang dipimpin dua komandan berkebangsaan Jepang.
“Namanya Darsono dan Sumardi. Darsono ini aslinya Takashi, dia orang Jepang,” kenangnya.
Dia menceritakan, ada banyak orang orang Jepang yang kala itu membantu warga pribumi berperang mewalan Belanda. Nyaris tiga hari sekali terjadi baku tembak antara pejuang dengan pasukan Belanda. Ini terjadi di wilayah Kecamatan Talun, tepatnya di Desa Pasirharjo. Kawasan tersebut dulunya jalur strategis yang digunakan Belanda untuk masuk ke Blitar. Mbah Kadjat juga pernah ditugaskan menghalau pasukan Belanda di area tersebut.
“Kami itu kalah dalam senjata. Jadi banyak yang mati. Belanda itu tidak eman dengan peluru. Kami sebaliknya, untungnya saya masih bisa selamat dan kembali ke markas,” ujarnya.
Mbah Kadjat bersama pejuang lain sadar sulit untuk menang. Namun, perlawanan di Blitar harus terus dilakukan. Sebab, jika tidak ada perlawanan, jelas mereka juga tidak akan hidup dengan layak. “Saat itu, perhitungannya hanya dua. Dibunuh atau membunuh,” kenangnya.
Selain menghalau pasukan Belanda di Talun, Mbah Kadjat juga pernah di kirim ke Ngantang, Malang. Dia bergabung dengan para pejuang lain dari TRIP dan Batalyon Branjangan. Di sana, Mbah Kadjat tidak hanya “memainkan” (menggunakan) lee-enfield yang biasanya. Namun, dia juga diminta untuk mengaktifkan bom, yang dia kenal dengan nama butong. Ada rangkaian kabel yang digunakan untuk memicu ledakan. (hai/c1/wen)