TULUNGAGUNG – Pengelolaan tanah bengkok kelurahan di Kecamatan Kota dituding kurang transparan. Aduan dari masyarakat muncul terkait indikasi kecurangan dalam sewa menyewa aset milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tulungagung. Padahal, terdapat aturan dalam pengelolaan tanah bengkok yang tetuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 33 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Tanah Pertanian Milik Pemkab Tulungagung.
Dalam aturan tersebut, pengelolaan bengkok kelurahan bisa dikelola umum dan non-PNS (juru kunci, modin, dan perangkat) sesuai dengan kriteria masing-masing. “Untuk para lurah yang ada di Kecamatan Tulungagung, kembalikan hak juru kunci dan modin sesuai dengan peruntukkannya. Karena mereka itu sudah melakukan kewajibannya dan telah mengabdi kepada masyarakat puluhan tahun,” jelas Penasihat Paguyuban Caping Kutho, Agus Hadi Sungkono, kemarin (28/7).
Lanjut dia, sewa tanah bengkok yang diperuntukkan bagi non-PNS mendapatkan harga dasar 50 persen lebih rendah dibandingkan harga dasar umum. Dengan begitu, misalnya harga sewa 1 hektare (ha) sekitar Rp 15 juta untuk umum, maka harga sewa 1 ha untuk non-PNS sekitar Rp 7,5 juta. “Mohon untuk lurah-lurah yang ada di Kecamatan Tulungagung, yang berkaitan dengan non-PNS ini dikembalikan sesuai dengan haknya,” paparnya.
Dia mengaku pernah menerima aduan dari salah satu modin di Kelurahan Kampungdalem. Modin tersebut menyampaikan bahwasanya dirinya tidak diberikan ruang sebagai penyewa tanah bengkok Kelurahan Kampungdalem. “Berkali-kali saya sampaikan, kembalikan hak-hak mereka itu. Sesuai dengan apa yang sudah menjadi ketentuan perbup,” ucapnya.
Dia menegaskan, pengelolaan tanah eks bengkok untuk non-PNS tersebut tidak untuk dilelang. Tentu sangat menyayangkan adanya pemberlakuan lelang untuk tanah bengkok non-PNS yang dilakukan oleh lurah di Kecamatan Tulungagung. “Bedanya di mana sama tanah bengkok untuk umum, yang namanya kemaslahatan mereka sudah melaksanakan kewajibannya sebagai modin dan sebagai juru kunci, malah diperlakukan seperti ini,” tutupnya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Caping Kutho, Budi Santosa mengatakan, lurah-lurah di Kecamatan Tulungagung tidak pernah memberikan keterbukaan dalam pengelolaan tanah bengkok. Karena itu, pengelolaan tanah bengkok terkesan eksklusif. “Dia (para penyewa non-PNS) sudah mendapatkan hak dan sudah diajukan, tapi tidak dikasihkan untuk mengelola tanah eks bengkok. Padahal sudah ada perbup dan sudah jelas aturannya,” tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, suasana mencekam tiba-tiba menyelimuti Kantor Kelurahan Sembung, Kecamatan Tulungagung, kemarin (27/7) pagi. Bagaimana tidak, juru kunci makam membawa kereta jenazah atau keranda masuk ke pendapa kelurahan. Aksinya ini karena buntut protes terhadap lurah lantaran bengkoknya tidak diberikan dengan semestinya.
Sontak alat untuk mengangkut orang meninggal dunia itu dirantai pada salah satu tiang penyangga di lokasi tersebut. Hingga kejadian ini membuat para pegawai Kantor Kelurahan Sembung panik dan ketakutan. Bahkan, ini membuat para pegawai perempuan berlari meninggalkan kantor kelurahan.
Petugas Kelurahan Sembung tidak tinggal diam. Mereka memanggil tukang las untuk memotong rantai yang mengikat keranda itu. Lalu, keranda itu sempat dibawa pihak polisi hingga akhirnya dikembalikan lagi ke area pemakaman.
Saat ditemui di rumahnya, Tutuko mengaku kesal karena merasa dipermainkan Lurah Sembung hingga melakukan aksi tersebut. Pasalnya, dia telah tiga kali meminta surat tugas sebagai juru kunci makam, tapi oleh lurah tidak dilayani dan merasa dipersulit. Padahal, pihaknya sebenarnya telah bertugas sejak November 2011, setelah juru kunci lama meninggal dunia.
“Aksi saya lakukan agar Pak Lurah segera memproses surat tugas yang saya butuhkan. Padahal, surat tugas itu akan saya pakai untuk mengurus tanah bengkok,” ungkapnya. (mg2/c1/din)