KABUPATEN BLITAR – Riak-riak kecil masalah di lahan bekas Perkebunan Karangnongko, Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, membuat wakil rakyat ketar-ketir. Sebab, hal ini bisa menjadi pemantik yang mengancam kondusifitas wilayah.
Sekertaris Komisi I DPRD Kabupaten Blitar Panoto tidak menyangka kegiatan redistribusi lahan bekas perkebunan tersebut belum cukup menyelesaikan konflik tanah di Desa Modangan tersebut. Bahkan, kini kembali masuk ke ranah hukum yakni gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). “Karena sudah seperti ini, proses hukum harus dihormati,” ujarnya kepada Koran ini kemarin(31/7).
Pihaknya juga mendengar, di lapangan sempat ada gesekan antara penggarap lahan dengan pemilik sertifikat bekas perkebunan tersebut. Menurut dia, seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena idealnya penerima sertifikat ini adalah mereka yang menggarap lahan.
Sayangnya, Panoto enggan berkomentar banyak seputar proses atau teknis pelaksaan landreform tersebut. Alasannya, ada pihak lain yang lebih berkompeten untuk memberikan penjelasan. Disisi lain, kasus ini sudah masuk ke ranah hukum. “Untuk saat ini yang paling utama adalah bisa saling mengendalikan diri, sambil menunggu proses hukum selesai,” terangnya.
Politisi PKB ini tidak memungkiri jalur hukum kadang membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk itu, pemerintah daerah harus mencari solusi jangka pendek maupun jangka panjang agar masalah pertanahan ini tidak sampai mengganggu kondusifitas wilayah.
Sepengetahuan dia, belum semua lahan bekas perkebunan ini disertifikatkan untuk masyarakat. Jika memungkinkan, sisa lahan itu tentunya bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengakhiri persoalan tanah yang sudah terjadi puluhan tahun tersebut. “Tapi juga harus mempertimbangkan kemungkinan lain, misalnya perusahaan yang konon memiliki peluang untuk memperpanjang pemanfaatan lahan ini,” tegasnya.
Untuk sementara, kata dia, pemerintah daerah harus bisa memfasilitasi kepentingan pemegang sertifikat dan penggarap lahan. Artinya, mengerahkan segala upaya untuk meminimalisir resiko atau hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di lapangan. “Kami minta semua menahan diri, itu juga salah satunya agar jangan sampai muncul tindakan yang tidak produktif bahkan melawan hukum. Karena itu akan merugikan diri dan orang lain,” imbaunya.
Beberapa hari lalu, para penggarap lahan bersama kuasa hukumnya bertemu dengan jajaran Forkopimda di Pendopo Ronggo Hadi Negoro. Dalam kesempatan tersebut, Wakil Bupati Rahmat Santoso juga memberikan imbauan yang kurang lebih sama. Yakni, berharap para pihak bisa mengendalikan diri dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung di PTUN. “Saat ini sudah ada produk hukum, sertifikat. Jadi harus saling menghormati, tidak melakukan tindakan anarkis semisal perusakan,” katanya. (hai/ady)