KABUPATEN BLITAR – Persiapan mepet, itu bukan hal baru lagi. Namun, melibatkan beberapa pelaku seni dari luar daerah jelas tidak mudah. Logat dan perbedaan bahasa menjadi tantangan dalam pagelaran kresnayana VII ini.
Hujan deras mengguyur Bumi Penataran sore kemarin (5/6). Terop yang memayungi area amphitheater Penataran nyatanya juga tak mampu menjadi peneduh. Air masih merembes. Kursi dan beberapa perlengkapan harus segera diamankan. Pun masih saja ada yang basah dan tidak mungkin digunakan lagi. “Kami sudah antisipasi dengan pasang tenda, eh masih saja tampu (bocor,red),” ujar Arinal Huda.
Gusar menyelimuti raut muka Sekretaris Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Kabupaten Blitar ini. Maklum, ini adalah malam puncak Festival Kresnayana VII. Nyaris semua tim perlengkapan event tahunan ini sibuk. Berulang kali panggung juga harus dibersihkan. Karena fakta gerimis jelang Magrib itu masih membasahi tempat mentas ini.
Syukur, selepas isya hujan sudah reda. Gerombolan penonton berangsur memadati amphitheater ini. kursi VIP dan para undangan lambat laun juga terisi. Petinggi provinsi dan beberapa pejabat dari luar daerah duduk sepanggung dengan Bupati Rini Syarifah dan kepala organisasi perangkat daerah (OPD) Kabupaten Blitar lainnya.
Sejurus berikutnya, rangkaian festival ini dimulai. Riuh tepuk tangan penonton membuat suasana sangat hidup. Satu persatu para pelaku seni dari luar daerah yang diundang untuk mengisi rangkaian festival Kresnayana ini unjuk kebolehan. Menampilkan seni lokal masing-masing, itu benar-benar menghibur para penonton.
Tak lama kemudian, acara pamungkas sendratari dengan lakon kresnayana kawedhar (the story of kresna) itu dirilis. Diringi gamelan dan pencahayaan yang ciamik, itu memukau para penonton. Suasana saat itu berbanding terbalik dengan beberapa jam sebelumnya, ketika mendung pekat dan hujan deras mengguyur wilayah ini. “Sebanarnya kami sudah membuat persiapan. Pasang tenda dan yang lain agar aman, tapi ternyata hujan sore itu memang deras. Untungnya semua lancar bahkan melebihi ekspektasi,” katanya Dimas Anggoro, Asisten Sutradara Kresnayana Kawedhar.
Dimas tidak menampik, ada kepanikan dibalik panggung sebelum pementasan. Berulangkali seniman di ruang rias menanyakan kondisi cuaca serta persiapan panitia.
Bohong jika pemeran kakak Narayana tahun ini tidak gelisah. Dia juga khawatir hujan tak kunjung reda. Namun, sebisanya dia meyakinkan pemain lain bahwa kondisi masih dalam kendali. “Tak guyoni saja, bahwa hujan ini agar suasananya sedikit adem. Kalau saya kelihatan panik, takutnya mereka juga kehilangan mood dan semangat untuk tampil, itu baik,” tuturnya.
Tak hanya cuaca, ada banyak tantangan lain yang harus dilalui sebelum malam puncak ini digelar. Dimas dan tim festival Kresnaya ini hanya memiliki waktu kurang dari dua pekan untuk urusan pementasan. Waktu mepet ini bukan hal yang baru. Namun, kondisinya berbeda saat beberapa tokoh dalam sendratari ini melibatkan personel dari luar daerah. Selain seniman lokal, ada beberapa dari Solo, Surabaya, hingga Jakarta.
Koordinasi pementasan hanya berlangsung selama beberapa hari. Efisiensi anggaran menjadi salah satu alasannya. Sebelumnya, whatsapp group menjadi alternative untuk mensinkronkan bagian-bagian dan jatah dalam pertunjukan.
Beruntung, para pelaku seni ini memiliki etos tinggi. Tak ada masalah dalam membagi tugas berikut gerakan-gerakan saat manggung. “Untuk koreo tidak ada masalah, hanya ada sedikit tantangan soal bahasa,” beber Dimas.
Ya, seorang di antara tokoh penting dalam pagelaran ini berasal dari Jakarta. Bukan karena seniman ibu kota nya, namun bahasa dan logat yang digunakan selama pementasan adalah bahasa Jawa. “Jadi selama beberapa hari sebelum pertunjukan ada kelas khusus, itu untuk fokus pada intonasi dan bahasa saja,” ujarnya.
Warga Sananwetan ini mengapresiasi profesionalitas para pemain. Meski waktunya tidak begitu banyak, mereka mampu menyesuaikan diri dengan cepat. Persoalan logat dan bahasa pun terselesaikan. “Untuk yang dari Solo dan Surabaya tidak ada masalah, tapi untuk yang Jakarta berbeda. Meski bisa menghafal narasi dan intonasinya pas, tapi saat kami tanya soal maksud dari kalimat berbahasa Jawa itu ternyata tidak paham,” ungkapnya lantas tertawa.
Bagi Dimas, persoalan bahasa ini memang bukan hal sepele. Butuh waktu dan proses, baik untuk menyesuaikan logat dan memahami maksud dalam bahasa tersebut. Untuk sementara yang terpenting adalah kearifan lokal Blitar serta pesan-pesan terkait kepemimpinan dalam rangkaian sendratari ini bisa diterima oleh masyarakat. (*/ady)