Trenggalek – Ratusan anggota Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Trenggalek mendesak pemerintah pusat agar merevisi Undang-Undang (UU) Desa. Mereka menilai UU itu menyimpan sederet kelemahan.
Para anggota PPDI Trenggalek mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jakarta, pada Selasa (24/1). Ada sebanyak 327 perangkat desa dari Trenggalek yang bertolak ke Jakarta.
Sementara itu, RDP menghasilkan empat komitmen, rombongan diterima oleh perwakilan dari Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kedua, DPR RI tidak mungkin mengubah masa jabatan perangkat desa menyerupai masa jabatan kades, artinya sesuai regulasi UU desa no 4/2016 maka tetap sampai usia 60. Ketiga, status perangkat desa akan diperjelas dengan cara diatur dalam UU tersendiri, yakni UU Tentang Aparatur Pemerintah Desa. Terakhir, revisi UU tentang Desa akan diprioritaskan masuk dalam perubahan prioritas Prolegnas 2023.
Ketua PPDI Trenggalek Nurwanto menjelaskan, keberangkatan PPDI ke Jakarta tak lain untuk mengkritisi UU desa yang terindikasi ada kelemahan-kelemahan. Utamanya pada UU Desa 6/2014, PPDI mendesak agar UU itu direvisi karena pada poin status perangkat desa masih kabur. “Kami ingin memperjelas status kami. Sampai saat ini, status kami belum jelas. Kami tidak masuk ASN, kami tidak masuk PPPK, itu yang ingin kami sampaikan ke wakil-wakil kami yang ada di DPR RI,” ungkapnya.
Dari pengalaman anggota PPDI, kata Nurwanto, peraturan perangkat desa tak jauh beda dengan para ASN. Selama ini ketika ada yang terlibat masalah, penanganan oknum perangkat desa seolah-olah menyerupai ASN. Namun di balik itu, ternyata perangkat desa tidak mendapatkan hak kesejahteraan layaknya ASN. “Kami tak punya hak seperti ASN. Statusnya yang tidak jelas. Kami tak ingin dimasukkan PNS tidak, tapi kami ingin bagian dari ASN,” ujarnya.
Selain itu, PPDI Trenggalek menekankan agar Surat Keputusan (SK) perangkat desa diangkat camat atas nama Bupati. Tujuannya, agar oknum kades tidak sampai sewenang-wenang mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan prosesdur yang ada. “Kemudian untuk Nomor Induk Pegawaian, kami ingin diterbitkan dari pusat, supaya nanti oknum kades yang sedang marak di luar Jawa tidak sewenang-wenang,” tutupnya. (tra/rka)