trenggalek – Stok susu hasil sapi perah belum memikat konsumen lokal Trenggalek. Indikasinya, produksi susu yang mencapai 35 ribu liter tiap harinya, cuma diserap ratusan liter saja.
Kabid Usaha Produksi dan Bina Perusahan Dinas Peternakan (Disnak) Trenggalek Yoyon Hariyanto membenarkan bahwa konsumen susu lokal Trenggalek minim. Namun, produksi susu lebih banyak diserap pabrik-pabrik yang berada di luar daerah. “Susu biasanya di setor ke pihak pengusaha, ada dari Blitar, Malang, dan Surabaya. Kalau tingkat lokal sendiri hanya pedagang kecil,” ucapnya.
Biarpun serapan susu dari konsumen lokal rendah, produksi susu perah tetap diterima pasar. Sebab, produksi susu di Indonesia masih terbilang rendah karena hanya memenuhi 20 persen dari kebutuhan susu nasional. “Untuk itu, Indonesia masih impor susu murni sekitar 80 persen,” ujarnya.
Berdasarkan data disnak, produksi susu pada 2020 sebesar 11.681.944 liter. Kemudian pada 2021, produksi susu perah meningkat sebesar 12.806.289 liter. Melalui data tersebut, ada kenaikan produksi susu mencapai 1.124.345 liter dengan populasi sapi sebanyak 4.983 ekor pada 2021.
Produksi susu Trenggalek selama ini didominasi Kecamatan Bendungan. Peternak susu perah di kecamatan di kaki Gunung Wilis itu mampu memproduksi hingga 30.000 liter per hari. Pada urutan kedua, yaitu Kecamatan Pule yang mencapai 4 ribu liter per hari. Sedangkan di urutan ketiga, yakni Kecamatan Suruh sebanyak 1.000 liter per hari. Kecamatan Bendungan bisa mendominasi produksi susu, kata Yoyon, karena para peternak sudah menerapkan metode peranakan sehingga populasi sapi di kecamatan itu terus meningkat. “Selama pandemic, produksi susu dari sapi perah naik hingga 10 persen. Hal ini karena peternak sudah memanfaatkan anak dari indukan sapi perah. Untuk harga, susu murni mengalami kenaikan sekitar Rp 500. Awalnya Rp 5.500, kini sudah mencapai Rp 6 ribu per liter,” paparnya.
Sementara itu, Yoyon mengaku bahwa kendala produksi susu dari peternak selama ini dalam hal sanitasi. Kendala itu yang dapat memengaruhi kualitas susu nantinya. “Jika sanitasi tidak baik, banyak bakteri yang bisa merusak susu sehingga pabrik menolak susu-susu yang tidak lolos quality control,” jelasnya.
Menyinggung efek wabah penyakit mulut dan kuku (PMK), menurut Yoyon, wabah itu belum berdampak signifikan terhadap pengurangan produksi susu sapi perah. Alasannya, belum ada kasus paparan PMK ke sapi perah. “Semoga saja jangan sampai terjadi, tapi kalau melihat daerah lain, ketika sapi perah terjangkit PMK, itu berisiko menurunkan produksi susunya dan susu bisa tidak laku dijual,” terangnya. (tra/c1/rka)