KOTA BLITAR – Fajar Okta Kuriniawan tak sepenuhnya pensiun dari dunia fotografi. Meski tidak lagi memotret, dia masih saja mengumpulkan barang-barang yang berhubungan dengan kamera. Dipajang untuk dinikmati bersama pengunjung warung kopinya.
Hunian di Jalan Sudarmo, Kelurahan Sananwetan, itu cukup terawat. Meski tidak begitu besar, rumah lawas itu memiliki sirkulasi udara yang cukup baik sehingga nyaman ditempati.
Namun beberapa bulan terakhir, hunian tersebut sudah berubah fungsi. Fajar Okta Kuriniawan mengubahnya menjadi tempat usaha. Tak hanya sekadar warung kopi. Tempat itu juga menjadi sarana mengenang hobi fotografi. “Sampai sekarang masih senang fotografi. Tapi sudah jarang hunting karena kesibukan,” ujarnya saat ditemui kemarin(17/2).
Beberapa dekade silam, kamera dan lensa seolah tak pernah jauh dari genggamannya. Bahkan, pria 36 tahun itu juga sempat membangun jasa fotografi. Sayangnya, seiring perkembangan teknolgi, usaha tersebut tak lagi menjanjikan. Dia pun memilih pensiun dari studio foto, beralih menggeleluti dunia percetakan.
Beberapa tahun terakhir, semangatnya utak-atik lensa kembali bangkit. Namun bukan untuk foto, melainkan koleksi. Dia berburu hingga ke luar daerah untuk mendapatkan kamera-kamera lawas tersebut.
Soal harga, jangan ditanya. Meski mayoritas sudah tidak lagi bisa difungsikan, Fajar harus merogoh kocek cukup dalam demi mendapatkan barang tersebut. “Tidak mahal kok, asal mau jeli dan telaten nawar pasti dapat harga yang ekonomis,” katanya lantas terkekeh.
Awalnya, barang-barang itu hanya untuk kesenangan pribadi. Namun, beberapa tahun terkahir, Fajar memiliki motivasi baru. Dia ingin agar kamera lawas itu juga bisa dinikmati oleh banyak orang.
Sebuah ide muncul. Yakni menjadikan barang tersebut sebagai ornamen pelengkap interior tempat usaha. Selain bisa memberikan suasana baru bagi pengunjung, barang kuno itu kemungkinan bisa menjadi salah satu magnet untuk mendatangkan pengunjung. “Sambil edukasi juga, kan ada benyak jenis kamera, mulai TRL (twin lens reflex), tustel, dan kamera jenis yang lain,” jelasnya sambil menunjukkan etalase yang berisi puluhan kamera lawas miliknya.
Bagi pria ramah itu, masih ada beberapa kamera lawas yang bisa difungsikan. Sayangnya, ada beberapa komponen pendukung yang kini nyaris sulit didapatkan. Misalnya, film untuk kamera. Akibatnya, kendati bisa dioperasikan, kamera itu tetap tidak bisa menghasilkan produk.
Memiliki puluhan kamera lawas ternyata sedikit merubah pola kesenangan Fajar. Dari yang sebelumnya hanya demen koleksi kamera, kini dia juga gandrung dengan benda antik lainnya. Beberapa di antaranya, radio, telepon, mesin ketik, dan lainnya.
Praktis kini tempat usahanya ibarat museum barang antik mini. Meski tidak lengkap, di setiap sudut ruangan terpajang benda- benda lawas yang menggugah minat orang untuk mendekat dan mengamati.
“Saya dapat barang-barang ini dari lokalan Blitar. Tapi yang paling banyak dari daerah Jawa Tengah, seperti Solo,” jelasnya.
Mampir ke pasar loak di berbagai daerah menjadi hal biasa bagi Fajar. Namun belakangan dia cenderung lebih suka hunting via internet.
Bapak satu anak itu mengakui, berburu di dunia maya tidak gampang. Minimal harus siap mental. Sebab, tidak menutup kemungkinan gambar yang dipajang tidak sesuai kenyataan. Begitu juga dengan urusan harga. “Kalau kena prank sih belum, mudah-mudahan jangan,” harapnya.
Kendati begitu, bukan berarti Fajar tak pernah kecewa. Dia mengaku pernah membeli barang dengan harga yang terlalu tinggi dari pasaran. Itu terjadi saat masih awal menjajal bertransaksi di internet. “Ini jadi pengalaman saya,” ungkapnya.
Fajar kini lebih selektif memilih barang. Bahkan daerah asal penjual juga dilihat. Menurut dia, hal itu cukup penting. “Diusahakan juga, jangan sampai kita belanja barang antik pada kolekdol. Karena pasti harga lebih mahal,” tandasnya. (*/c1/wen)