KABUPATEN BLITAR – Usulan men-status quo-kan lahan bekas Perkebunan Karangnongko, Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, membuat para penggarap lahan tersebut kebakaran jenggot. Mereka langsung menolak status tersebut. Sebab, mengolah lahan itu menjadi satu-satunya sumber penghasilan.
“Kalau Pak Polisi mau menanggung kebutuhan mereka ya tidak apa-apa,” ujar kuasa hukum penggarap lahan bekas Perkebunan Karangnongko, Pujihandi, kemarin (22/7).
Menurut dia, yang menjadi pemicu masalah di lapangan kini adalah orang-orang baru yang kebingunan mengolah lahan sesuai sertifikat atas nama mereka. Sebagian besar lokasi lahan yang tercantum dalam sertifikat tersebut sudah diolah oleh warga lain. Akibatnya, terjadi gesekan atau adu mulut antara penggarap lahan dengan pemilik sertifikat.
Pujihandi mengatakan, hal itu tidak mungkin terjadi jika para pemegang sertifikat lahan adalah orang yang juga menggarap lahan bekas perkebunan ini. Sebaliknya, penggarap lahan pasti akan mempertahankan tanaman serta lahan garapan yang sudah lama mereka olah. “Ini kan aneh, wong tidak garap lahan kok dapat sertifikat. Seharusnya orang dapat sertifikat itu yang sudah lama menggarap lahan,” katanya.
Sedikitnya ada 54 orang yang kini memberikan kuasa pada Pujihandi untuk mengajukan gugatan terhadap sertifikat tanah bekas perkebunan itu ke pengadilan tinggi tata usaha negara (PTUN) Surabaya. Tujuannya, tidak lain untuk membatalkan sertifikat yang sudah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Blitar itu.
Pria asal Kediri ini mengaku sering mendampingi kasus terkait sengketa sertifikat. Dalam kondisi ini, para pemilik sertifikat juga bisa mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri. Itu jika merasa dirugikan atas tindakan yang dilakukan oleh penggarap lahan. “Jadi biar nanti pengadilan yang melakukan eksekusi,” jelasnya.
Dia melanjutkan, jalur hukum menjadi metode paling aman untuk mengupayakan keadilan. Hal itu juga sering kali disampaikan kepada kliennya. “Kalau sama-sama mengedepankan tindakan fisik, ini yang bahaya. Tidak hanya sekadar cekcok, tapi juga bisa berujung pada kejadian yang lebih besar,” tuturnya.
Dia menegaskan, kliennya sangat kooperatif. Artinya, membuka setiap komunikasi untuk menyelesaikan masalah. Sayangnya, kadang ada hal-hal yang seolah sengaja didesain untuk menimbulkan kesan negatif terhadap para penggarap lahan bekas perkebunan tersebut. “Misalnya saja seperti rakor di pendapa kemarin. Undangan disampaikan pada hari dan jam yang sama dengan pelaksanaan. Ya apa mungkin klien kami bisa datang,” keluhnya.
Diketahui, beberapa waktu lalu pemerintah daerah memfasilitasi pertemuan dengan para pihak yang terkait lahan bekas Perkebunan Karangnongko. Hal ini merespons kondisi di lapangan yang mengindikasikan gejolak, bahkan berpotensi terjadi peristiwa yang tidak diinginkan. Sebab, kini banyak beredar video cekcok antara pemilik sertifikat dan para penggarap lahan.
Dalam pertemuan itu, pihak keamanan memberikan saran agar sementara waktu tidak ada aktivitas apa pun di lokasi tersebut. Tujuannya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang mengacam stabilitas keamanan. (hai/c1/wen)