TULUNGAGUNG – Bangunan Masjid Al-Muhajirin di Desa Gedangsewu, Kecamatan Boyolangu, merupakan pindahan dari Masjid Jamik Tulungagung atau Masjid Al-Munawwar. Sampai kini masih tetap dipertahankan tanpa ada perubahan.
Salah satu pengurus Masjid Al-Muhajirin, Ali Zein mengatakan, perpindahan masjid ini bisa dibilang atas peran dua tokoh agama Islam di Tulungagung pada waktu itu, yaitu KH Masyhuri dan KH Syafii Abdurrohman. Atas peran dua tokoh itulah kerangka masjid Al-Munawwar bisa berada di Desa Gedangsweu sampai sekarang.
“Mendengar kabar bahwa masjid jamik akan dibongkar, bapak saya KH Masyhuri merasa keberatan karena waktu itu beliau juga pengurus masjid jamik. Keberatan itu disampaikan kepada KH Syafii Abdurrohman yang saat itu memegang jabatan penting di kabupaten ini,” jelas anak dari KH Masyhuri, pendiri masjid tersebut.
Dia melanjutkan, singkat cerita beberapa proses telah dilalui dan ternyata membuahkan hasil. Bupati Tulungagung saat itu, H. Jaefoedin Said menghadiahkan kerangka masjid jamik kepada KH Masyhuri untuk dipindahkan di Desa Gedangsewu, Kecamatan Boyolangu. Namun, dengan syarat bangunan masjid yang dipindahkan tidak boleh berubah dari bangunan awalnya.
Berpindahnya kerangka Masjid Al-Munawwar ke Desa Gedangsewu yang sekarang bernama Masjid Al-Muhajirin terjadi pada tahun 1991-1992. Peresmiannya pada Jumat Kliwon 10 Juli 1992 Masehi bertepatan dengan 9 Muharam 1413 Hijriyah. Dibangun oleh KH Masyhuri dan para sahabatnya sebagai pindahan dari Masjid Jamik Kabupaten Tulungagung atau sekarang terkenal dengan Masjid Al-Munawwar.
Dia mengungkapkan, sekiranya tahun 1991 pembongkaran kerangka Masjid Jamik Tulungagung dilakukan, kemudian dibawa ke Gedangsewu per bagiannya. “Kendalanya saat itu adalah lahan yang masih kurang, karena masjid yang akan dipindahkan harus sama dengan sebelumnya. Sedangkan luas tanah yang dimiliki masih kurang sehingga mengharuskan membeli tanah di sekitar sana,” katanya.
Pada saat proses pembangunan kembali di Gedangsewu, disebutkan oleh Ali, memerlukan waktu dan tenaga lebih ketimbang saat membongkar. Dijelaskan pula pada saat membangun kembali masjid ini, ada beberapa hal yang menjadi keunikan tersendiri.
“Seperti para pekerja yang harus dalam keadaan suci, kalau tidak dalam keadaan suci bisa terjadi kecelakaan. Atau pernah datang dua truk mengirimkan besi untuk membangun yang tidak tahu asal-usulnya dari mana dan truk tersebut menghilang begitu saja,” katanya.
Tak hanya itu, pada salah satu proses pembangunan terdapat salah satu saka atau tiang penyangga yang mengalami kesulitan dipasang, yaitu saka paling ujung arah timur selatan. Satu tiang penyangga tersebut baru bisa dipasang setelah melakukan tahlil sebanyak 4.444 kali di makam Mbah Kumbang, Kelurahan Karangwaru, Kecamatan Tulungagung.
“Anehnya lagi, pada waktu pemindahan tidak ada satu pun item yang menghilang. Ukuran, tiang penyangga, dan yang lainnya sama persis seperti apa yang ada pada masjid jamik, hanya lokasinya saja yang berpindah,” terusnya.
Setelah bangunan jadi pada tahun 1992, sampai sekarang tidak pernah terjadi perubahan pada bagian masjid dan tetap mempertahankan bangunan pada saat menjadi Masjid Jamik Tulungagung atau Al-Munawar tersebut. (mg1/c1/din)