KOTA BLITAR – Sebagai istri seorang polisi, Sulisyanti berusaha untuk selalu kreatif. Sudah sejak 2014 terjun menekuni seni kriya. Dari membuat berbagai macam aksesori, hingga kini menggeluti bisnis ecoprint. Karyanya sudah tembus hingga luar daerah.
Rumah sederhana di kompleks perumahan Central Park Melati itu sekaligus menjadi tempat produksi. Tak ada ruang khusus untuk mengerjakan produk ecoprint. Sulisyanti memanfaatkan ruang tamu berukuran sekitar 3×2 meter untuk tempat produksinya.
Sudah sejak 2018, Ibu Bhayangkari ini menggeluti usaha ecoprint. Usaha tersebut dijalankan bersama seorang rekannya. Kini sudah puluhan karya dihasilkan dari ecoprint. Mulai kain, topi, sepatu, hingga tas berbahan kulit kambing.
Usaha ecoprint berawal dari rasa ketertarikannya terhadap kerajinan ecoprint. Yakni, teknik pewarnaan dengan menggunakan warna alami dari tumbuh-tumbuhan. Teknik tersebut bisa diaplikasikan pada kain hingga kulit.
Kerajinan ecoprint kini mulai menjadi tren tersendiri. Kerajinan tersebut dinilai ramah lingkungan karena tanpa penggunaan bahan kimia dalam proses pewarnaan. ”Di situlah saya penasaran, ingin mencobanya. Ini hal baru bagi saya,” ungkapnya kepada koran ini saat ditemui di rumahnya, Selasa (5/7).
Saat itu, perempuan 42 tahun tersebut belum mengerti sama sekali tentang ecoprint. Kebetulan, saat itu ada informasi pelatihan ecoprint dari Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Blitar. Dia pun memutuskan ikut pelatihan tersebut.
Berbekal keterampilan dalam seni kriya yang dimiliki, Sulis lebih mudah menerima materi ecoprint yang diajarkan. Usai pelatihan, dia langsung mempraktikkan ilmu tersebut. ”Saya mencoba dan terus mencoba hingga akhirnya bisa. Saat itulah saya mulai memproduksi kain ecoprint,” ungkapnya.
Seiring waktu, Sulis terus mengembangkan kreativitasnya. Tidak hanya kain ecoprint yang digarap, dia juga merambah produk-produk lain seperti tas, topi, hingga sepatu. Semuanya diproduksi dengan cara ecoprint.
Untuk bahan produksi ecoprint, dia memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitar rumahnya. Bahan utamanya adalah dedaunan. Biasanya, dedaunan yang digunakan untuk ecoprint itu tertentu. Artinya, tidak semua daun bisa dimanfaatkan.
Daun-daun yang digunakan itu meliputi jarak kepyar, daun jati, daun genitri, hingga bunga kenikir. Ada juga daun Eucalyptus populus. Daun tersebut termasuk daun impor. ”Daun itu tergolong mahal. Satu ikat bisa seharga Rp 300 ribu. Makanya, harga produk yang dihasilkan dari warna daun itu cukup mahal,” terangnya.
Menurut dia, semua daun bisa digunakan untuk ecoprint. Namun, tidak semua bisa menghasilkan warna dan motif sedetail daun tersebut di atas. Jika memakai daun sembarangan, warna dan motif yang muncul justru siluet. ”Jadi tidak terlihat motif daunnya,” kata perempuan ibu dua anak ini.
Setiap dua hari sekali, Sulis memproduksi kain ecoprint. Entah itu produk pesanan maupun untuk stok. Harga produk ecoprint karyanya bervariasi. Mulai harga Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta. Tergantung ukuran dan jenis kainnya. ”Kalau kain sutra bisa mencapai Rp 1 juta,” terangnya.
Sulis menggunakan dua jenis kain, yakni katun dan sutra. Ukurannya ada yang 1,5 meter hingga 3 meter. Sementara itu, produk tas kulit dibanderol Rp 750 ribu sampai Rp 1,2 juta. Dia memanfaatkan kulit kambing untuk produk tasnya.
Dalam pemasarannya, Sulis jarang menggunakan media online. Selama ini dia hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. Namun, beberapa tahun terakhir ini, dia sering mengikuti pameran Bhayangkari. “Alhamdulillah, sejak ikut pameran lebih berkembang. Banyak pesanan,” tandasnya. (*/c1/wen)