TULUNGAGUNG – Nasib nelayan beberapa waktu terakhir mengalami kesusahan dan pontang-panting untuk mendapatkan solar. Itu karena jarak tempuh mereka yang jauh. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tulungagung akan mengusulkan pengadaan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) ke Pertamina.
“Dua tahun lalu, saya pernah mengusulkan ke Pertamina untuk membuat SPBN di Tulungagung. Namun ternyata dari hasil survei yang dilakukan perusahaan, belum bisa membuat SPBN,” ujar Bupati Maryoto Birowo saat ditemui di Pantai Sine, Desa Kalibatur, Kecamatan Kalidawir.
Pihak Pertamina saat itu berdalih jika para nelayan di Tulungagung masih sanggup mencari solar di SPBU terdekat. Selain itu, banyak nelayan yang belum memiliki persyaratan untuk pendirian SPBN di Tulungagung. “Tahun ini kami akan usulkan kembali pembuatan SPBN. Kalau melihat peta pantai di Tulungagung, sebenarnya dua SPBN sudah bisa mencukupi nelayan di Tulungagung sehingga tidak kesusahan lagi, sedangkan untuk lokasi masih akan kami bahas,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tulungagung, Jaiman mengatakan, banyak nelayan di Tulungagung yang kesusahan solar. Itu karena pada SPBU Kalidawir harus dibatasi 200 liter untuk setiap nelayan. Padahal, kapal di atas 7 gross tonnage (GT) membutuhkan solar hingga 500 liter.
Dia menjelaskan, hal ini disebabkan karena di Tulungagung tidak ada SPBN. Padahal di Pantai Sine, total nelayan mencapai lebih 300 orang dengan 200 armada kapal. Mulai dari 1 GT hingga 20 GT. Mereka harus membeli solar di SPBU terdekat dengan jarak tempuh mencapai 16 kilometer.
Untuk mengantisipasi kekurangan solar bagi nelayan yang memiliki kapal di atas 7 GT, mereka harus menggunakan nama nelayan lain. Bahkan setiap kali pembelian, para nelayan juga harus menyewa mobil angkut. Otomatis nelayan harus mengeluarkan ongkos lebih hanya untuk membeli solar.
“Jadi setiap 10-15 nelayan biasanya akan menyewa mobil angkut untuk membeli solar. Jika harga setiap 1 liter di SPBU adalah Rp 5.150, maka ketika sudah sampai di Pantai Sine harganya menjadi Rp 6.000.,” paparnya.
Pria 57 tahun itu menerangkan, setiap kali nelayan berangkat melaut untuk mencari ikan itu belum pasti untung. Bahkan sering kali, nelayan hanya balik modal saja. Itu karena modal yang dibutuhkan kapal di bawah 7 GT untuk melaut sekitar Rp 130 ribu, sedangkan modal untuk kapal di atas 7 GT bisa mencapai Rp 3,5 juta.
Maka dari itu, Jaiman berharap kepada pemerintah agar segera menyediakan SPBN di Tulungagung. Karena jika selama ini ada kelangkaan solar, para nelayan terpaksa tidak bisa melaut. “Minimal harapan kami ada satu SPBN di Tulungagung. Itu akan sangat membantu sekali bagi nelayan,” terangnya. (jar/c1/din)