Trenggalek – Pemkab Trenggalek bersama sejumlah pihak harus terus berupaya dalam proses pencegahan pernikahan dini terhadap anak. Pasalnya, kendati sudah ada tren penurunan, tetapi pernikahan anak di Trenggalek masih tergolong tinggi.
Ini terlihat berdasarkan data pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama (PA) Trenggalek yang angkanya mencapai 273 kasus. Jumlah tersebut menduduki 20 besar angka tertinggi di Jawa Timur (Jatim). Karena itu, perlu ada langkah konkret agar jumlahnya bisa ditekan. “Memang pernikahan merupakan sebuah proses perjalanan hidup yang didambakan bagi kebanyakan orang. Namun di sini (Indonesia, Red), pernikahan itu diatur dalam undang-undang (UU), terlebih usia minimal boleh kawin yaitu 19 tahun,” ungkap Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Trenggalek, Endang Suprapti.
Dia melanjutkan, dari situ LPA akan terus melakukan sosialisasi dan pemahaman terkait hal tersebut. Nantinya, sosialisasi dan pemahaman akan diberikan kepada calon pengantin (catin) hingga orang tua ketika mengurus keperluan untuk mendapatkan dispensasi nikah. Sebab, dalam hal ini pernikahan anak telah diatur dalam peraturan bupati (perbup). Ketika meminta surat pengantar ke kepala desa (kades)/lurah terkait hal tersebut, catin atau keluarganya harus bisa menunjukan rekomendasi dari pemkab. Jika belum bisa menunjukkan, maka tidak diberikan surat pengantar tersebut. “Pastinya ketika mengurus rekomendasi ke pemkab akan kami dampingi untuk pemberian pemahaman, dan pengertian, tentang resiko pernikahan di usia dini,” katanya.
Berdasarkan pantauan LPA, besarnya angka perkawinan usia anak disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, budaya, status sosial ekonomi keluarga, pendidikan rendah, dan marriage by accident. Apalagi, kondisi ekonomi memburuk pada masa pandemi Covid–19 sekitar tiga tahun ini juga turut menambah besarnya angka perkawinan usia anak.
Dari situ, saat ini LPA terus melakukan kampanye sosial pencegahan perkawinan usia anak, mengingat cukup banyak dampak negatif ketika usia anak menikah.
Alasannya, dengan umur pernikahan masih belia, khususnya anak perempuan belum siap secara biologis untuk mengandung. Sebab, organ reproduksinya belum cukup matang sehingga sangat berisiko tinggi bagi keselamatan dan kesehatan ibu dan bayinya.
Bahkan, ketika mengurus rekomendasi di pemkab akan dicek masalah kesehatan terkait hal tersebut. Jika kurang baik, maka rekomendasi tidak diberikan. Demikian halnya anak laki-laki yang akan menjadi suami, kondisi mental, emosi labil berpengaruh pada keretakan rumah tangga, rata-rata terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan berujung perceraian. Perkawinan anak berpotensi munculnya permasalahan sosial baru sehingga anak-anak lebih baik menyelesaikan sekolah ketimbang menikah.
Dalam proses pencegahan pernikahan anak, LPA dan pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Sebab, perlu keterlibatan dan peran serta semua pihak untuk mencegah pernikahan anak terutama orang tua. “Berbagai upaya telah kami lakukan untuk menekan angka pernikahan dini ini. Saat ini cukup efektif, tapi perlu dimasifkan lagi agar jumlahnya semakin menurun,” jelas Endang.(jaz/c1/rka)