Trenggalek – Tahapan wacana penataan daerah pemilihan (dapil) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Trenggalek kembali menuai pro kontra. Sebab, tanggapan baru muncul setelah dilakukan uji publik pada Selasa (13/12) malam kemarin. Ini seperti yang diungkapkan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PCNU Trenggalek, Murkam.
Menurut dia, berdasarkan kajian yang telah dilakukan, memang terkait tiga rancangan penataan dapil yang diajukan KPU yaitu empat dapil, lima dapil, dan enam dapil ada plus minusnya. Namun, dengan kondisi yang ada di Trenggalek saat ini, empat dapil merupakan komposisi yang masih relevan untuk dilaksanakan pada Pemilu 2024 mendatang. “Jadi butuh kajian lebih mendalam lagi jika ingin merombak dapil, melihat kondisi dari berbagai sudut. Karena itu, kami menganggap pemekaran dapil ini belum urgen,” katanya.
Alasannya, empat dapil sudah dilaksanakan mulai pemilu tahun 2004. Bahkan, dengan mengacu eks kawedanan yang ada, komposisi tersebut masih bisa digunakan pada Pemilu 2019 kemarin. Jika ada perubahan menjadi lima dapil, maka tentu ada penggabungan dan pemecahan wilayah kecamatan pada dapil sebelumnya. Serta rancangan ketiga yakni enam dapil yang juga terdapat perubahan wilayah. Dua rancangan tersebut yang menjadi poin kritisi. Itu karena penyusunannya tidak bisa lepas dari tujuh prinsip, mulai dari kesetaraan dan terakhir kesinambungan. “Jadi menurut kami, mempertahankan empat dapil ini sah saja, selama tidak bertentangan dengan aturan,” ungkapnya.
Aturan yang dimaksud seperti jumlah kursi lebih dari 12 di salah satu dapil. Apalagi, dalam rancangan pada lima dapil dan enam dapil, ada kecamatan yang secara geografis masih berkesinambungan, tetapi sangat tidak mungkin untuk dilewati. Itu seperti ada di Kecamatan Tugu dengan Bendungan yang menjadi satu dapil. Sebab, pada dua kecamatan tersebut ada prinsip geografis wilayah yang belum tergabung secara transportasi, perhubungan untuk memudahkan komunikasi. Karena itu jika dijadikan satu dapil pastinya tidak relevan. Sebab, saat ini untuk menuju wilayah kecamatan tersebut harus melintasi dua wilayah kecamatan lainnya, yaitu Karangan dan Trenggalek.
Jadi, jika belum memudahkan secara faktor wilayah, maka bisa dikatakan masih melanggar prinsip karena tidak memudahkan prosesnya. Apalagi akan ada kesulitan pada saat reses anggota DPRD untuk melakukan konsolidasi dan lainnya. Sementara untuk enam dapil, ada Munjungan dan Watulimo yang rencananya akan menjadi satu dapil. Sebab, di wilayah tersebut begitu sulit untuk melakukan komunikasi dan transportasi karena historisnya sangat jauh. Meski telah dibangun jalan, teteapi belum menjadi sarana transportasi umum. Seperti jalan yang telah ada di wilayah Munjungan dan Watulimo, hanya sebatas jalan alternatif, karena belum ada ceritanya warga Munjungan pergi ke pasar Watulimo. Melihat itu, sama saja satu kecamatan satu dapil karena tidak terhubung.
Selain kritisi wilayah, Lakpesdam juga mengatakan, pada Pemilu 2019 dan 2024 nanti jumlah pemilih relatif tetap. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 7 tahun 2017, karena tidak adanya perubahan alokasi kursi berdasarkan jumlah penduduk. Artinya, tidak ada yang signifikan terhadap rancangan perubahan dapil tersebut. Apalagi, saat ini tidak ada pemekaran atau penambahan jumlah kecamatan. “Jadi, wacana ini kami anggap seperti membahas rutinitas saja, bahkan dari segi pembangunan juga tidak ada hubungannya,” imbuh Murkam.
Untuk masalah pembangunan, desa telah memiliki anggaran khusus yakni DD dan ADD. Serta memang sudah kewajiban pemkab melakukan pembangunan sesuai wilayahnya. Itu pun tergantung pada visi misi pemerintah dan DPRD dalam rangka ketok palu APBD. Dari situ, tidak serta-merta perubahan dapil dapat dilakukan untuk pembangunan, sebenarnya hanya tergantung pada partisipasi masyarakat dan pemerintah. Intinya, tidak ada urgensi pembangunan dalam penataan rancangan dapil tersebut. “Kami bukan menolak adanya rancangan penataan dapil, tapi mengusulkan kritisi, karena kritik ini resmi dalam proses tahapan,” jelasnya.(jaz/c1/rka)