Rembulan masih mengambang di langit kelam berselimut kabut. Gumam para pelayat menggema memenuhi ruang-ruang di pojokan rumah berdinding tembok separuh, mirip dengung lebah. Suara tangis wanita terdengar lirih. Tangan-tangan perempuan cekatan merangkai bunga dalam uluran benang. Harum mawar, kenanga, kantil, irisan daun pandan menguar menyapa hidung.
“Jangan tinggalin ibu, Soleh. Nanti rumah ini sepi. Ibu janji akan membelikanmu telur setiap hari. Perutmu nggak akan kelaparan lagi.” Murni mengelus kepala anak lelaki di pangkuannya.
Mata wanita itu terpejam. Sementara bulir bening menganak sungai di pipinya yang tirus. Anak lelaki semata wayang diberi nama Soleh saat melihat dunia 12 tahun yang lalu. Murni berharap bayi itu akan tumbuh menjadi anak saleh kebanggaannya, mencintai keluarga dan tidak pergi tanpa berita, seperti lelaki yang seharusnya dia panggil ayah.
Doa ibu makbul. Soleh selalu menuruti perkataan Murni. Tak pernah sekali pun membantah, apalagi melakukan hal yang mengecewakan. Rasa kesal karena keinginan yang belum terpenuhi oleh Murni, dia pendam dalam hati. Soleh paham jika keinginan bersekolah harus dibuang jauh melintasi samudera.
Upah ibunya sebagai buruh cuci piring di warung makan tak mampu untuk membeli keperluan sehari-hari, apalagi buat bayar SPP. Menu makan yang diberikan setiap hari hanya sebatas tahu dan tempe, bahkan pernah hanya nasi bertabur garam.
Namun, air liur yang terbit ketika membayangkan aroma telur goreng tak bisa ditahan. Perutnya seakan mengembang ibarat sanggup menerima sekodi gorengan telur. Entah kenapa, telur menjadi favoritnya sejak kecil.
“Murni, Soleh harus segera dimandikan, lalu disalatkan. Pak Mudin sudah menunggu,” ucap Fatimah, sesepuh di kampung Bandaran.
“Jangan ambil anakku! Biar saja dia tinggal di sini! Kenapa sekarang kalian peduli?” Murni lantang menolak sambil melotot.
Semua orang terkejut. Perlahan kepala-kepala menunduk, tangan sibuk menyusut air mata dan ingus. Rasa iba menggerayangi udara, berbalut senyap yang pekat
Tak ada seorang pun berani menatap mata Murni. Hanya Fatimah yang bergerak mendekat. Tangannya mengusap lembut punggung Murni.
“Ikhlaskan ya, Nduk. Soleh menunggumu di surga. Maaf kalau aku juga lalai menjaga Soleh sebagai amanah.” Fatimah memeluk Murni dari samping. Tetes air matanya membasahi pundak Murni.
“Aku tidak akan pernah memaafkan mereka. Nyawa harus dibayar nyawa. Jika Soleh tak bisa dapat kebahagiaan, mereka juga tidak akan pernah!” Hanya bibir Murni yang bergerak, rahang mengeras, sambil tangan mendekap Soleh lebih keras.
“Istigfar, ya. Ayo kita sucikan Soleh-mu.” Fatimah berusaha menggerakkan tubuh Murni dalam rangkulnya.
Proses menjelang upacara pemakaman berlangsung cepat. Para pelayat tak banyak bicara. Ada rasa bersalah menyelimuti hati. Andai saja mereka tak mengejar Soleh saat ketahuan mencuri telur di kandang ayam warga, mungkin anak lelaki yang pendiam itu tak akan naik pohon yang kayunya rantas. Ketika warga berteriak marah meminta Soleh turun, dia malah terjatuh sambil memeluk batang kayu. Orang-orang di bawah memilih menghindar hingga tubuh Soleh berdebum disambut tanah, dengan kepala membentur batu jalanan makadam.
Usai pemakaman, Murni masih meringkuk di ruang depan. Sesenggukan sambil menyebut-nyebut nama Soleh. Suara serak menyayat pendengaran. Hanya Fatimah yang masih bersedia menemani dan meladeni segala keperluan Murni.
“Murni, jangan terus menangis begitu. Soleh butuh doamu. Biarkan dia tenang. Ayo makan, sejak sore kamu menangis terus nanti bisa sakit.”
Fatimah menyodorkan sepiring nasi dan segelas teh manis. “Peduli apa Bu Fatimah sama saya dan Soleh? Kami bisa makan atau tidak, tak ada juga yang mau peduli. Biar saja saya sakit, lalu mati dan bertemu Soleh. Kasihan dia sendirian,” ucap Murni lemas.
“Maafkan aku, Nduk.” Fatimah ikut menangis, lalu beranjak ke dapur meninggalkan Murni sendiri.