TULUNGAGUNG – Polisi masih belum bisa mengatasi prostitusi online yang marak di berbagai kota, termasuk Tulungagung. Karena transaksinya tertutup dan belum adanya undang-undang (UU) spesifik perihal perdagangan seks di dunia maya. Bahkan, hingga kini hanya mucikari yang dapat ditindak hukum.
“Prostitusi online itu kami hanya bisa mendeteksi pelaku mucikarinya, yang mendapatkan fee atau uang imbalan dari kegiatan prostitusi. Dikarenakan UU yang ada kini hanya mengatur soal prostitusi,” ujar Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satreskrim Polres Tulungagung, Iptu Retno Pujiarsih, kemarin (12/7).
Kasus prostitusi online tersebut sampai kini masih belum ada aturan secara spesifik. Hanya ada UU yang membahas prostitusi di KUHP, juga ada lewat UU pornografi, ITE, hingga Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO). Karena mengingat sebagian pelaku prostitusi online melakukan transaksi tanpa melalui mucikari.
Dia menjelaskan, pada proses penindakan kasus prostitusi online juga harus bisa mengamankan barang bukti. Seperti bukti transaksi, uang hasil transaksi, dan sebagainya yang ditujukan untuk menguatkan tuduhan. Namun, terkait pengawasan sudah dilakukan dengan tim cyber di polres dan polda.
“Jika dari hasil penyelidikan ada anak-anak, maka bisa dijerat dengan UU Perlindungan Anak. Jika ada suami atau istrinya yang ikut dalam kasus prostitusi, maka nanti bisa ditindak lebih lanjut dengan UU Perzinaan,” terang Retno.
Menurut dia, potensi untuk kasus prostitusi online di Tulungagung masih ada. Namun, pihaknya masih terkendala untuk pengungkapannya. Sebab, sangat privasi dan tertutup antara pelaku dan pengguna pekerja seks komersial (PSK). Polisi mengalami kesulitan untuk mengaksesnya. Namun, itu tidak menjadi penghalang untuk mengungkap kasus tersebut.
Modusnya, para pelaku prostitusi memakai aplikasi chat online yang disebarkan ke media lain seperti Facebook atau MiChat. Bahkan, awal Juni lalu, polres juga menerima laporan prostitusi online. Namun, mucikari atau pemilik tempat prostitusi itu yang terkena tindakan hukum. Dengan pasal 296 KUHP dan 506 KUHP yang hukuman maksimalnya 1 tahun 4 bulan penjara.
“Sebelumnya, saya pernah menangani prostitusi itu pada tahun 2019. Lalu, pada tahun 2020 TPPO. Pada 2021 dulu belum ada laporan. Ya karena prostitusi online itu belum ada UU yang spesifik,” ungkapnya.
Namun, individu bisa dipidana berat, seperti kasus Vanessa Angel. Dia dijerat karena menawarkan diri dan dimasukkan ke UU ITE. Sedangkan untuk yang melalui aplikasi media sosial seperti MiChat tidak bisa ditindak langsung karena sama-sama pengguna, tidak ada mucikarinya. Lalu, belum ada UU pelacuran yang menjerat pelaku prostitusi atau PSK perempuan maupun laki-laki.(jar/c1/din)